31 Agustus 2009

I miss u, I need u, I love u...




Dulu sebelum menikah, saya pernah bilang pada calon suami bahwa saya ingin pisah kota jika nanti telah menikah. Spontan laki-laki yang kuajak bicara waktu itu bertanya, "kenapa?" dengan mimik wajah sedikit terkejut. Tentu saja saya sudah mengira pertanyaan dan reaksi dia. Saya tersenyum ringan dan menjawab dengan singkat, "supaya kita kangen terus."

Dua minggu setelah menikah, harapan saya dikabulkan Tuhan. Saya kerja di Bandung dan suami kerja di Jakarta. Seperti yang saya duga, rasa rindu itu menjadi bumbu yang indah menghiasi lima hari tanpa suami. Sedangkan sabtu dan minggu adalah hari raya kami berdua. Minggu demi minggu berlalu dengan berbagai macam rasa rindu. Aku rindu ngobrol dengannya, aku rindu tatapannya, aku rindu senyumnya, aku rindu belaiannya, dan seterusnya... dan seterusnya.... Rindu itu tawa, rindu itu indah, sekaligus rindu itu tangis, rindu itu sesak yang menekan.

Rasa rindu yang menumpuk itu menjelma menjadi semacam kebutuhan: Aku butuh didengar, aku butuh ditatap, aku butuh didekap, aku butuh dibelai, aku membutuhkan suamiku melebihi dari yang aku bayangkan. Hingga aku memutuskan untuk memenuhi rasa rindu itu dengan berada di samping suami. Artinya aku akan ikut ke kota dimana suamiku bekerja. Seperti orang yang dahaga, maka untuk memenuhinya adalah dengan minum air. Dan aku pun tahu, suatu saat dahaga akan hilang dan minum air harus dihentikan sementara.

Pernikahan adalah suatu pilihan, dan setiap pilihan memiki konsekuensinya. Pernikahan adalah sunnah Rasul, dianjurkan oleh agama bahkan wajib bagi yang sudah memenuhi kriterianya. Pernikahan akan membuat dirimu merasa tentram (Q.S. 30 : 21), dalam salah satu ayat yang biasa dibaca pada prosesi akad nikah dalam agama Islam. Bukan cuma nafsu birahi saat berdekatan dengan suami, rasa aman dan tentram benar-benar memenuhi segenap relung jiwa. Aku baru bisa memahami rasa itu setelah menikah. So, untuk yang ingin mengetahui seperti apa rasa 'tentram' itu, menikahlah.

Akhirnya aku memutuskan hidup bersama sebagaimana layaknya sebuah keluarga, tinggal dalam satu atap bersama suami dan anakku. Rasanya malu jika teringat keinginan "aneh"-ku yang dulu. Rasa rindu tidak mesti dipisahkan oleh jarak. Bahkan kerinduan bisa muncul saat yang dirindukan sedang berada di samping kita. Maka jangan heran jika suami/ isteri kita tiba-tiba memeluk dan mencium. Sambutlah pelukannya dan jangan gengsi untuk mengatakan I love you....

(with love...)
Jari "hati" Raras

Oase Waktu

Duduk di kursi di halaman depan rumah. Pukul sebelas malam. Angin sepoi bertasbih, daun-daun gemerisik bertasbih, gemercik air kolam pun bertasbih. Di sebelah sana, di depan rumah tetanggaku, seonggok api menyala. Mungkin membakar daun-daun kering. Biasanya aku kesal dengan pembakaran itu. Kalau tidak masuk ke rumahku, asap hasil pembakarannya membumbung ke langit, membuat lubang lapisan ozon semakin menganga. Berbeda dengan malam ini, api jingga itu menjadi pelengkap suasana. Suasana yang membuat hatiku sepi tapi terisi, yang membuat otakku berkecamuk dengan tenang, yang membuat tubuh lelahku terjaga.
Ya Alloh... masih tanda koma yang menyertai segala tanyaku tentang diriku, tentang diri-Mu. Belum usai perjalanan ini. Namun, saat ini aku tengah singgah di oase waktu. Bercumbu dengan rasa syukur di tengah semakin gersangnya kehidupan.

29 Agustus 2009

Hanya untukmu

Mungkin aku tak sehangat mentari
Tak pula sesejuk angin
Atau sesegar air pegunungan
Apalagi seindah bintang disana
Namun, sebentuk cinta ini hanya untukmu...