08 November 2009

Kisah Arung Jeram




- 28 Nov 2004 - "Selamat tinggal orang-orang yang tidak punya semangat hidup…!”
Begitulah kalimat yang diucapkan oleh rombongan Wabule yang akan berangkat rafting diiringi derai tawa dan lambaian tangan kepada Butre, Wulan, dan Eno. Kata Eno, “Saya tidak suka melihat air yang banyak, karena bisa bikin saya ingat sama dosa. Padahal saya masih ingin menikmati hidup. Jadi mendingan tidak ikut saja….”
Rombongan yang berangkat rafting terdiri dari Inal, Lyan, Reza, Topa, Adam, Chandra, Wiku, Bayu, Wida, aku sendiri, dan dua orang dari Club Land Rover yang menyiapkan fasilitas berupa perahu, dayung, helm, pelampung, dan tentunya sebuah mobil Land Rover. Sungai yang akan dituju adalah Sungai Cisangkuy di daerah Banjaran Kabupaten Bandung.
Kelompok pertama yang turun ke sungai adalah Lyan, Wiku, Adam, Chandra, Tita dan seorang pembimbing (Ah…namanya siapa sih? Lupa…). Sedangkan kelompok kedua: Wida, Topa, Bayu, Reza, dan Inal akan turun ke sungai setelah kelompok pertama menyelesaikan perjalanannya. Sebelumnya tidak lupa berdo’a dan sedikit pengarahan tentang cara memegang dayung, cara mendayung maju-mundur, mendayung kiri-kanan, pindah kiri, pindah kanan, ke depan semua, ke belakang semua, dan lain-lain.
Perjalanan sepanjang 12 KM ini diawali dengan jeram-jeram sungai yang cukup mengasyikkan, meliuk-liuk di antara sela-sela bebatuan sambil menikmati keindahan alam. Suara komando yang disebut Lyan sebagai muadzin sesekali terdengar: “Kiri maju, kanan mundur! Stop! Maju semua! Mundur semua!” Semua mengikuti komando dengan ayunan dayung yang bertenaga dan bersemangat. Sesekali terdengar teriakan dan tawa yang menyemarakkan suasana sungai yang sepi. Kadangkala komando berubah: “Pindah kanan!” atau “pindah kiri!”. Jika mendengar komando ini maka orang-orang yang berada di sebelah kiri pindah ke sebelah kanan, atau sebaliknya. Hal ini dilakukan supaya bisa melewati batu yang mengganjal di sebelah kanan atau sebelah kiri perahu. Wiku, Chandra dan Lyan mematuhi aba-aba ini dengan serius. Mereka melempar tubuhnya ke kiri atau kanan sambil menarik tambang perahu. Bahkan kadang-kadang sampai tidak memperhatikan siapa atau apa yang ditimpanya. Kebayang kan…tubuh mereka yang lumayan berbobot, suaranya saja sampai berdebum: BUM! Perahu juga sempat oleng yang membuat Adam dan Chandra terjungkir ke sungai. Hm…lumayan pening tuh! Tidak hanya itu, dayung Chandra sempat hanyut beberapa puluh meter, dikejar oleh Adam, dan…dapat ditemukan kembali. Kelihatannya Chandra sudah cemas, karena jika hilang mesti diganti.
Tetapi karena sebelumnya hujan tidak turun di Banjaran maka mempengaruhi debit air sungai. Perjalanan perahu karet untuk membelah sungai Cisangkuy jadi kurang lancar. Banyak bebatuan yang muncul ke permukaan. Jeram-jeram jadi terasa biasa saja bahkan saking banyaknya batu, tidak lagi disebut arung jeram, tapi arung batu! Supaya perahu bisa melewati sungai di daerah yang berbatu maka semua penumpang harus turun untuk mendorong perahu sampai ke daerah yang cukup aman untuk dinaiki kembali. Lyan punya cara tersendiri, disaat orang lain mendorong perahu, dia lebih suka membiarkan arus sungai membawa tubuhnya. Cara ini memang mengasyikkan, kita tak perlu repot-repot mengejar perahu dan tak perlu khawatir terpeleset, bahkan lebih hemat energi. Akhirnya cara ini diikuti oleh yang lainnya. Menghanyutkan diri sambil menatap langit yang tidak berwarna biru. Sesekali pantat atau tangan tersandung batu di bawah sungai.
Hujan mulai turun rintik-rintik. Hati bersorak, berharap debit air bertambah sehingga tak perlu naik-turun perahu lagi saat melewati daerah yang banyak batunya. Tetapi awan hitam yang bergelayut di langit seolah masih enggan menumpahkan isinya. Hingga sampailah perahu di sebuah bendungan. Rupanya daerah ini kurang aman untuk dilewati karena bendungannya bobol dan banyak kayu, bambu runcing serta benda lain yang malang melintang menghalangi sungai. Penumpang pun turun untuk kesekian kali, mengangkat perahu dan menyusuri pinggiran sungai sampai melewati bendungan. Barulah setelah itu naik kembali ke atas perahu. Inilah kisah arung jeram pertama di dunia di mana perahu naik manusia, bukannya manusia naik perahu.
Tiga jam telah terlewati. Biasanya tiga jam adalah waktu tempuh maksimal untuk melintasi sungai Cisangkuy dari start sampai finish yang telah ditentukan. Dikarenakan medan yang kurang mendukung, waktu tiga jam baru menempuh setengah perjalanan. Semuanya mulai terlihat lelah. Adam mengkhayalkan Nasi Padang yang mengepul, Chandra merindukan air Aqua segar, perutku sendiri juga mulai keroncongan, dan mulut Lyan katanya berasa asam karena belum mengisap rokok, serta Wiku? Sepertinya Wiku membayangkan seseorang, dia diam saja tak banyak komentar.
Kayuhan dayung mulai mengendor dan bodor-bodor pun mulai berkurang. Semua merasakan perut yang kesepian dan tubuh yang mulai menggigil kedinginan. Saat perahu melewati seorang lelaki setengah baya yang membawa kantong plastik hitam, Lyan bertanya, “Pak, itu isinya apa?” dan laki-laki itu menjawab “Ini terong.” Entah apa maksud dari pertanyaan Lyan pada laki-laki itu. Mungkin jika isinya gorengan akan ditukar dengan kaosnya.
Beberapa menit kemudian perahu melewati seorang pemuda desa di pinggir sungai yang sedang merokok, Lyan berteriak, “Aa..! bagi rokoknya dong!” Laki-laki yang dimaksud menggelengkan kepalanya, “Nggak ada!” Rupanya Lyan belum mau menyerah “Itu ada!” tunjuk Lyan pada rokok yang sedang dihisap si pemuda itu. Pemuda itu hanya tersenyum, karena tak mungkin melempar rokok di tangannya yang tinggal seujung kuku. Kemudian perahu melewati sebatang pohon kelapa. Semua menatap pohon kelapa itu seolah berharap dengan tatapannya bisa membuat buahnya jatuh. Dengan pelan Chandra menyelutuk “Kelapa kan tidak bisa dimakan langsung.” Semuanya terdiam kembali. Tiba-tiba Lyan berteriak untuk kesekian kali, ditujukan pada laki-laki yang sedang berada di kebun, “Pak! Minta tomat doong!” Laki-laki itu hanya tersenyum membalas teriakan Lyan. Tetapi Lyan belum patah semangat, “mungkin di sekitar sini ada tanaman ubi” sahutnya sambil matanya menyapu kiri kanan sungai. Tiba-tiba Lyan berteriak girang “Ada kacang panjaang..!” Tapi kemudian teriakannya diiringi keluhan setelah melihat sisa-sisa batang kangkung dari dekat yang mirip kacang panjang dari kejauhan.
***
Setelah perahu menghilang di belokan sungai, mobil Land Rover dan beberapa orang yang tersisa bergerak menuju batas finish menunggu kemunculan kelompok pertama. Sambil menunggu giliran, Topa dan Bayu mengenakan jaket pelampung, berenang-renang menikmati air sungai. Inal melakukan pemanasan dengan menggerak-gerakkan tubuhnya. Hujan mulai turun. Wida duduk semedi memperhatikan sosok Inal yang tengah pemanasan. Perahu belum juga terlihat tanda-tanda kemunculannya. Padahal sudah lebih dari tiga jam mereka menunggu kelompok pertama. Topa mulai tak sabar, Inal gelisah, dan Wida mencemaskan keadaan teman-temannya. Sebenarnya mereka lebih mengkhawatirkan perahunya, karena perahu itu pinjaman dan mahal harganya.
Beberapa orang di antara mereka balik lagi ke tempat semula, bolak-balik hingga tiga kali karena mengira kelompok pertama menyerah dan kembali ke tempat semula. Tetapi perahu dan penumpangnya seolah ditelan sungai tanpa kabar. Berita kecemasan pun menyebar ke Wabule melalui Handphone. Wulan, Eno, dan Butre panik tak karuan. Apalagi mereka teringat dengan salam perpisahan mereka: “Selamat tinggal orang-orang yang tidak punya semangat hidup…!” bikin merinding aja. Pak Tri yang sedang singgah di Wabule ikut panik. Ical yang sedang di kost-annya dihubungi, “Waah…Ane mau nonton Fores jam neh! Kayaknya kagak bisa ke Wabule sekarang,” Kata Ical dengan logatnya yang khas. Wulan nggremet mendengarnya, “Masak kamu lebih mementingkan pelem daripada temen sendiri?” katanya agak ketus.
Tidak hanya Ical saja yang dihubungi, Club Land Rover yang bersebelahan dengan Wabule pun digedor dan penunggunya yang sedang tidur dibangunkan. Kontan ia terbangun. Mungkin teringat dengan perahu dan peralatan lainnya. Semua panik. Bahkan sempat berniat untuk menghubungi tim SAR untuk menyusuri sungai Cisangkuy, karena mereka mengira perahu terbalik dan semua penumpangnya tenggelam. Tapi akhirnya diputuskan untuk menanti kabar sambil duduk-duduk menghitung nafas.
Empat jam berlalu…lima jam terlewati….sampai jarum jam pendek mengarah ke angka lima.
***
Hari mulai sore. Hujan belum turun juga. Hanya rintik-rintik halus yang sesekali turun membuat lingkaran-lingkaran kecil di permukaan sungai. Beberapa meter lagi kelompok pertama arung jeram sampai di garis finish. Lyan dan Chandra memilih jalan darat menyusuri pinggiran sungai. Sepetak kebun tomat terhampar dengan buahnya yang belum begitu ranum. Lyan memetik beberapa buah dan memakannya dengan lahap sambil berjalan. Akhirnya batas finish dicapai pada pukul 17.15 WIB. Enam jam perjalanan yang melelahkan. Badan yang lelah akan segera istirahat dan perut keroncongan akan segera terisi. Kasihan, kelompok kedua tak akan menyelesaikan separuh perjalanan arung jeram sungai Cisangkuy kali ini sebab sore semakin gelap.
***
Bunyi sms kepada Wulan:
Siapkan alat-alat P3K, air panas, dan kopi. Anak-anak kena hipotermia, sebagian kritis!
Setelah sms dikirimkan, mobil Land Rover yang ditumpangi berguncang dengan tawa yang beragam. Berharap sesampainya di Wabule telah tersedia air panas untuk mandi dan kopi manis yang sedap. “Tapi bagaimana kalau kita malah mendapatkan Wulan sedang terkapar pingsan?”, “semoga baik-baik saja…hahaha….”
***
Mobil berhenti tepat di depan pintu Imam Bonjol 50. Rolling door Wabule tertutup rapat seolah tak menginginkan kedatangan tim arung batu yang kelelahan. Sambil terheran Inal membuka pintu geser itu. Muncul wajah Eno, Wulan, dan Butre, ketiganya manyun... dan juga Kang Lala, calon suamiku yang tak bisa menyembunyikan senyum. Rahasia terbongkar. Beberapa jam yang lalu Aku menghubungi Kang Lala saat lahap menyantap makanan di sebuah rumah makan Sunda, mengabari keadaanku seusai ber-arung batu yang melelahkan. Aku tidak mengira Kang Lala akan menjemputku ke Wabule lebih cepat dari yang aku perkirakan. Rencana menonton tingkah panik Eno, Wulan, dan Butre gatot alias gagal total. Tapi akhirnya semua tertawa…hahahahahahaha…..
"Geuleuhlah..."
“Purunyus manehmah….”
"Nubaleg wee...dek ngaheureuyan teh...."
“Engke deuimah tong dipercaya….”
“Euweuh gawe pisan!”
Dan mengalirlah cerita-cerita….
Tidak lupa mengabari Pak Tri, agar lelaki bijak itu bisa terlelap nyenyak malam ini.
-selesai-
Beberapa teman Wabule saat mengikuti satu acara di SABUGA


Sarikaya

Bahan-bahan:

  • 7 butir Telur ayam
  • 1/4 Kg Gula merah, larutkan dengan segelas air
  • 1 ons gula pasir
  • 2 gelas santan dari 1/4 Kg kelapa parut
  • 1/2 sdt Pala bubuk
  • 1/4 sdt kayu manis bubuk
Cara Membuat:
  1. Kayu manis dan pala dimasukkan ke dalam larutan gula merah
  2. Kocok telur ayam dan gula pasir sampai mengembang
  3. Masukkan larutan gula merah ke dalam kocokan telur
  4. Masukkan adonan ke dalam loyang atau wadah agar-agar yang tahan panas
  5. Kukus hingga matang

Raras



Namaku Raushani Putri Wilaga,
Panggil saja Raras! Begitulah Ibu dan Bapakku
memberi nama. Raushani berasal dari bahasa persia
yang berarti cerah, terang. Nama itu diambil
karena dulu ibuku membaca sebuah buku karya Ali

Syari'ati "Membangun Masa Depan Islam". Salah satu

istilah yang dipakainya adalah Raushan Fekr yang
berarti orang yang tercerahkan atau biasa disebut

cendikiawan. Seorang Raushan Fekr bukan berarti
sarjana berdasi atau pemuka terkenal. Melainkan
seseorang yang bisa membawa orang2 "minadz
dzulumat ilannur" dari kegelapan menuju cahaya.
Singkatnya Ia adalah teladan pada zamannya. Semoga

aku menjadi penerang sebagaimana namaku.

Kata Puteri sudah barang tentu berarti anak

perempuan. Juga berarti seorang dewi, perempuan
manis yang cerdas. Sedangkan kata Wilaga diambil
dari nama Bapakku. Entahlah, mungkin suatu saat
kelak akan mejadi klan yang besar, hehe...
Sedangkan nama panggilanku, Raras berarti api

cinta. Yup, aku lahir sebab cinta kedua

orangtuaku. Hati-hati, api akan sangat berguna
sekaligus bisa juga membahayakan.

Begitulah uraian singkat tentang namaku. Oya, aku
lahir pada hari Minggu, 26 Maret 2006, Pukul 19.52
dengan berat 2,9 Kg dan panjang 48 Cm.


Salam hangat dari orangtuaku Ibu Tita Hasanah

dan Bapak Lala Wilaga.

Paket dari Seorang Preman Depok



- 3 Desember 2004 -

Sebuah paket mungil beserta sebuah amplop diantar kurir Pandu Siwi Sentosa, Jl. Raya Bekasi Timur, untukku. Berbentuk kotak dengan pita dari benang wol warna merah muda. Aku tak percaya. Lantas kubaca nama yang tertera di atasnya. Jelas sekali ditujukan untukku: Tita Hasanah. Tanpa alamat Si pengirim. Aku mengira-ngira isinya. Akhirnya kuputuskan untuk membukanya. Siapa gerangan yang telah membuat hatiku sedikit bergelombang. Ups…! Kayu, kayu apa? Kukeluarkan perlahan-lahan. Aku terkejut! Sebuah photo dengan kepala miring—tentunya dengan derajat kemiringan tertentu, tengah tersenyum memandang kamera. Waa…ini kan gambar diriku?! Siapa yang telah mengambil gambar ini?! kapan?! Dimana?! Beraninya!
Aku perhatikan pigura kayu itu. Bagian atasnya menyembul tulisan yang jelas terbaca:
F R I E N D S
Di sebelah kirinya tertera huruf te ( t ) dengan tinta silver. Aku belum tau Si pengirim paket itu. Lalu kubuka amplopnya. Sebuah kartu dengan gambar ojeg dan kios Mie Ayam Ojolali. Tulisan dibawahnya: Seri Transportasi Rakyat Ojeg Motor. Kemudian kubaca tulisan di dalamnya. Huruf  Times New Roman, Italic, Font 12.

Kepada ibu guru Tita,
Ini semacam teror rahasia
kami menyimpan foto-foto ibu yang lain,
Saat sedang makan, ngemil, ngupil, bengong,
mandi, pipis di WC umum,
tidur di kamar lelaki gondrong berkacamata…
dan masih banyak lagi…

Dari : Pengagum rahasia
Ps: Berhati-hatilah