- 28 Nov 2004 -
"Selamat tinggal orang-orang yang tidak punya semangat hidup…!”
Begitulah kalimat yang diucapkan oleh rombongan Wabule
yang akan berangkat rafting diiringi derai tawa dan lambaian
tangan kepada Butre, Wulan, dan Eno. Kata
Eno, “Saya tidak suka melihat air yang banyak, karena bisa bikin saya ingat sama dosa. Padahal saya
masih ingin menikmati hidup. Jadi mendingan tidak ikut saja….”
Rombongan yang berangkat rafting terdiri dari Inal, Lyan, Reza, Topa,
Adam, Chandra, Wiku, Bayu, Wida, aku sendiri, dan dua orang dari Club Land Rover yang menyiapkan fasilitas berupa
perahu, dayung, helm, pelampung, dan tentunya sebuah mobil Land Rover. Sungai
yang akan dituju adalah Sungai Cisangkuy di daerah Banjaran Kabupaten Bandung.
Kelompok pertama yang turun ke sungai adalah Lyan,
Wiku, Adam, Chandra, Tita dan seorang pembimbing (Ah…namanya siapa sih? Lupa…).
Sedangkan kelompok kedua: Wida, Topa, Bayu, Reza, dan Inal akan turun ke sungai
setelah kelompok pertama menyelesaikan perjalanannya. Sebelumnya tidak lupa
berdo’a dan sedikit pengarahan tentang cara memegang dayung, cara mendayung
maju-mundur, mendayung kiri-kanan, pindah kiri, pindah kanan, ke depan semua,
ke belakang semua, dan lain-lain.
Perjalanan sepanjang 12 KM ini diawali dengan
jeram-jeram sungai yang cukup mengasyikkan, meliuk-liuk di antara sela-sela
bebatuan sambil menikmati keindahan alam. Suara komando yang disebut Lyan
sebagai muadzin sesekali terdengar: “Kiri maju, kanan
mundur! Stop! Maju semua! Mundur semua!” Semua mengikuti komando dengan ayunan
dayung yang bertenaga dan bersemangat. Sesekali terdengar teriakan dan tawa
yang menyemarakkan suasana sungai yang sepi. Kadangkala komando berubah:
“Pindah kanan!” atau “pindah kiri!”. Jika mendengar komando ini maka
orang-orang yang berada di sebelah kiri pindah ke sebelah kanan, atau
sebaliknya. Hal ini dilakukan supaya bisa melewati batu yang mengganjal di
sebelah kanan atau sebelah kiri perahu. Wiku, Chandra dan Lyan mematuhi aba-aba
ini dengan serius. Mereka melempar tubuhnya ke kiri atau kanan sambil menarik
tambang perahu. Bahkan kadang-kadang sampai tidak memperhatikan siapa atau apa
yang ditimpanya. Kebayang kan…tubuh mereka yang lumayan berbobot, suaranya saja
sampai berdebum: BUM! Perahu juga sempat oleng yang membuat Adam dan Chandra
terjungkir ke sungai. Hm…lumayan pening tuh! Tidak hanya itu, dayung Chandra sempat
hanyut beberapa puluh meter, dikejar oleh Adam, dan…dapat ditemukan kembali.
Kelihatannya Chandra sudah cemas, karena jika hilang mesti diganti.
Tetapi karena sebelumnya hujan tidak turun di Banjaran
maka mempengaruhi debit air sungai. Perjalanan perahu karet untuk membelah
sungai Cisangkuy jadi kurang lancar. Banyak bebatuan yang muncul ke permukaan.
Jeram-jeram jadi terasa biasa saja bahkan saking banyaknya batu, tidak lagi
disebut arung jeram, tapi arung batu! Supaya perahu bisa melewati sungai di daerah
yang berbatu maka semua penumpang harus turun untuk mendorong perahu sampai ke
daerah yang cukup aman untuk dinaiki kembali. Lyan punya cara tersendiri,
disaat orang lain mendorong perahu, dia lebih suka membiarkan arus sungai
membawa tubuhnya. Cara ini memang mengasyikkan, kita tak perlu repot-repot
mengejar perahu dan tak perlu khawatir terpeleset, bahkan lebih hemat energi.
Akhirnya cara ini diikuti oleh yang lainnya. Menghanyutkan diri sambil menatap
langit yang tidak berwarna biru. Sesekali pantat atau tangan tersandung batu di
bawah sungai.
Hujan mulai turun rintik-rintik. Hati bersorak,
berharap debit air bertambah sehingga tak perlu naik-turun perahu lagi saat
melewati daerah yang banyak batunya. Tetapi awan hitam yang bergelayut di
langit seolah masih enggan menumpahkan isinya. Hingga sampailah perahu di
sebuah bendungan. Rupanya daerah ini kurang aman untuk dilewati karena
bendungannya bobol dan banyak kayu, bambu runcing serta benda lain yang malang
melintang menghalangi sungai. Penumpang pun turun untuk kesekian kali,
mengangkat perahu dan menyusuri pinggiran sungai sampai melewati bendungan.
Barulah setelah itu naik kembali ke atas perahu. Inilah kisah arung jeram
pertama di dunia di mana perahu naik manusia, bukannya manusia naik perahu.
Tiga jam telah terlewati. Biasanya tiga jam adalah
waktu tempuh maksimal untuk melintasi sungai Cisangkuy dari start sampai finish yang telah ditentukan. Dikarenakan
medan yang kurang mendukung, waktu tiga jam baru menempuh setengah perjalanan.
Semuanya mulai terlihat lelah. Adam mengkhayalkan Nasi Padang yang mengepul,
Chandra merindukan air Aqua segar, perutku sendiri juga mulai keroncongan, dan
mulut Lyan katanya berasa asam karena belum mengisap rokok, serta Wiku?
Sepertinya Wiku membayangkan seseorang, dia diam saja tak banyak komentar.
Kayuhan dayung mulai mengendor dan bodor-bodor pun mulai berkurang. Semua merasakan
perut yang kesepian dan tubuh yang mulai menggigil kedinginan. Saat perahu
melewati seorang lelaki setengah baya yang membawa kantong plastik hitam, Lyan
bertanya, “Pak, itu isinya apa?” dan laki-laki itu menjawab “Ini terong.” Entah
apa maksud dari pertanyaan Lyan pada laki-laki itu. Mungkin jika isinya
gorengan akan ditukar dengan kaosnya.
Beberapa menit kemudian perahu melewati seorang pemuda
desa di pinggir sungai yang sedang merokok, Lyan berteriak, “Aa..! bagi
rokoknya dong!” Laki-laki yang dimaksud menggelengkan kepalanya, “Nggak ada!”
Rupanya Lyan belum mau menyerah “Itu ada!” tunjuk Lyan pada rokok yang sedang
dihisap si pemuda itu. Pemuda itu hanya tersenyum, karena tak mungkin melempar
rokok di tangannya yang tinggal seujung kuku. Kemudian perahu melewati sebatang
pohon kelapa. Semua menatap pohon kelapa itu seolah berharap dengan tatapannya
bisa membuat buahnya jatuh. Dengan pelan Chandra menyelutuk “Kelapa kan tidak
bisa dimakan langsung.” Semuanya terdiam kembali. Tiba-tiba Lyan berteriak
untuk kesekian kali, ditujukan pada laki-laki yang sedang berada di kebun,
“Pak! Minta tomat doong!” Laki-laki itu hanya tersenyum membalas teriakan Lyan.
Tetapi Lyan belum patah semangat, “mungkin di sekitar sini ada tanaman ubi”
sahutnya sambil matanya menyapu kiri kanan sungai. Tiba-tiba Lyan berteriak
girang “Ada kacang panjaang..!” Tapi kemudian teriakannya diiringi keluhan
setelah melihat sisa-sisa batang kangkung dari dekat yang mirip kacang panjang
dari kejauhan.
***
Setelah perahu menghilang di belokan sungai, mobil
Land Rover dan beberapa orang yang tersisa bergerak menuju batas finish menunggu kemunculan kelompok pertama.
Sambil menunggu giliran, Topa dan Bayu mengenakan jaket pelampung,
berenang-renang menikmati air sungai. Inal melakukan pemanasan dengan
menggerak-gerakkan tubuhnya. Hujan mulai turun. Wida duduk semedi memperhatikan
sosok Inal yang tengah pemanasan. Perahu belum juga terlihat tanda-tanda
kemunculannya. Padahal sudah lebih dari tiga jam mereka menunggu kelompok
pertama. Topa mulai tak sabar, Inal gelisah, dan Wida mencemaskan keadaan
teman-temannya. Sebenarnya mereka lebih mengkhawatirkan perahunya, karena
perahu itu pinjaman dan mahal harganya.
Beberapa orang di antara mereka balik lagi ke tempat
semula, bolak-balik hingga tiga kali karena mengira kelompok pertama menyerah
dan kembali ke tempat semula. Tetapi perahu dan penumpangnya seolah ditelan
sungai tanpa kabar. Berita kecemasan pun menyebar ke Wabule melalui Handphone. Wulan, Eno, dan Butre panik tak
karuan. Apalagi mereka teringat dengan salam perpisahan mereka: “Selamat tinggal orang-orang
yang tidak punya semangat hidup…!” bikin
merinding aja. Pak Tri yang sedang singgah di Wabule ikut panik. Ical yang
sedang di kost-annya dihubungi, “Waah…Ane mau nonton Fores jam neh! Kayaknya
kagak bisa ke Wabule sekarang,” Kata Ical dengan logatnya yang khas. Wulan
nggremet mendengarnya, “Masak kamu lebih mementingkan pelem daripada temen
sendiri?” katanya agak ketus.
Tidak hanya Ical saja yang dihubungi, Club Land Rover yang bersebelahan dengan
Wabule pun digedor dan penunggunya yang sedang tidur dibangunkan. Kontan ia
terbangun. Mungkin teringat dengan perahu dan peralatan lainnya. Semua panik.
Bahkan sempat berniat untuk menghubungi tim SAR untuk menyusuri sungai Cisangkuy,
karena mereka mengira perahu terbalik dan semua penumpangnya tenggelam. Tapi
akhirnya diputuskan untuk menanti kabar sambil duduk-duduk menghitung nafas.
Empat jam berlalu…lima jam terlewati….sampai jarum jam
pendek mengarah ke angka lima.
***
Hari mulai sore. Hujan belum turun juga. Hanya
rintik-rintik halus yang sesekali turun membuat lingkaran-lingkaran kecil di
permukaan sungai. Beberapa meter lagi kelompok pertama arung jeram sampai di
garis finish. Lyan dan Chandra memilih jalan darat
menyusuri pinggiran sungai. Sepetak kebun tomat terhampar dengan buahnya yang
belum begitu ranum. Lyan memetik beberapa buah dan memakannya dengan lahap
sambil berjalan. Akhirnya batas finish dicapai pada pukul 17.15 WIB. Enam jam
perjalanan yang melelahkan. Badan yang lelah akan segera istirahat dan perut
keroncongan akan segera terisi. Kasihan, kelompok kedua tak akan menyelesaikan
separuh perjalanan arung jeram sungai Cisangkuy kali ini sebab sore semakin
gelap.
***
Bunyi sms kepada Wulan:
Siapkan alat-alat P3K, air panas, dan kopi. Anak-anak
kena hipotermia, sebagian kritis!
Setelah sms dikirimkan, mobil Land Rover yang
ditumpangi berguncang dengan tawa yang beragam. Berharap sesampainya di Wabule
telah tersedia air panas untuk mandi dan kopi manis yang sedap. “Tapi bagaimana
kalau kita malah mendapatkan Wulan sedang terkapar pingsan?”, “semoga baik-baik
saja…hahaha….”
***
Mobil berhenti tepat di depan pintu Imam Bonjol 50. Rolling door Wabule tertutup rapat seolah tak
menginginkan kedatangan tim arung batu yang kelelahan. Sambil terheran Inal
membuka pintu geser itu. Muncul wajah Eno, Wulan, dan Butre, ketiganya manyun... dan juga Kang Lala, calon suamiku yang
tak bisa menyembunyikan senyum. Rahasia terbongkar. Beberapa jam yang lalu Aku
menghubungi Kang Lala saat lahap menyantap makanan di sebuah rumah makan Sunda,
mengabari keadaanku seusai ber-arung batu yang melelahkan. Aku tidak mengira
Kang Lala akan menjemputku ke Wabule lebih cepat dari yang aku perkirakan.
Rencana menonton tingkah panik Eno, Wulan, dan Butre gatot alias gagal total. Tapi akhirnya
semua tertawa…hahahahahahaha…..
"Geuleuhlah..."
“Purunyus manehmah….”
"Nubaleg wee...dek ngaheureuyan teh...."
“Engke deuimah tong dipercaya….”
“Euweuh gawe pisan!”
Dan mengalirlah cerita-cerita….
Tidak lupa mengabari Pak Tri, agar lelaki bijak itu
bisa terlelap nyenyak malam ini.
-selesai-
|
Beberapa teman Wabule saat mengikuti satu acara di SABUGA |