01 November 2012

Parenting Practices and Their Relevance to Child Behaviors in Canada and China (Mowei Liu dan Feng Guo, 2010)


Penelitian ini menelaah praktik pengasuhan dan relevansinya dengan perilaku anak di Kanada dan Cina. Data yang digunakan dalam penelitian ini diambil dari proyek lintas budaya pada aspek sosial-emosional dan perkembangan kognitif anak-anak yang berasal dari Cina dan Kanada. Responden dari Kanada sebanyak 40 anak-anak (20 anak laki-laki, 20 perempuan) dengan usia rata-rata 5,5 tahun dan usia rata-rata ibu 36 tahun. Sedangkan responden dari Cina sebanyak 39 anak-anak (17 anak laki-laki, 22 perempuan) dengan usia rata-rata 4,8 tahun dan usia rata-rata ibu 33,3 tahun.
Semua responden dari Kanada adalah Kaukasia. Dalam aspek pekerjaan, sebanyak 9% ibu tidak bekerja, sementara di antara ibu yang bekerja, sebanyak 68,5% bekerja full time. Dalam aspek pendidikan 9% ibu berpendidikan hingga SMU, sedangkan 91% berpendidikan hingga perguruan tinggi atau pascasarjana. Responden anak-anak sebanyak 8% merupakan anak tunggal, 34% adalah anak pertama, dan 58% adalah anak kedua atau ketiga. Rata-rata pendapatan tahunan rumah tangga sebesar $ 81,423.73.
Responden dari Cina sebanyak 97% berasal dari etnis Cina Han. Dalam aspek pekerjaan, sebanyak 11% dari ibu tidak bekerja, sedangkan di antara ibu yang bekerja, 75% bekerja full time. Dalam aspek pekerjaan sebanyak 33% ibu berpendidikan hingga SMU, 67% berpendidikan hingga perguruan tinggi atau pascasarjana. Responden anak-anak sebanyak 82% merupakan anak tunggal, dan 18% adalah anak kedua atau ketiga. Rata-rata pendapatan tahunan rumah tangga sebesar RMB58762.50. Meskipun kedua sampel berbeda pada faktor-faktor demografi seperti pendapatan keluarga, status pekerjaan ibu dan tingkat pendidikan ibu, setiap sampel merupakan perwakilan dari status sosial ekonomi rata-rata keluarga di perkotaan di daerah masing-masing negara.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan gender yang signifikan pada variabel ibu dan anak baik Cina maupun Kanada. Karena itu, tidak ada skor yang terpisah untuk anak laki-laki maupun perempuan. Hasil lainnya adalah sebuah analisis multivariat kovarians (MANCOVA) dilakukan untuk menilai apakah ada perbedaan lintas budaya dalam perilaku ibu yang dilhat dalam interaksi antara ibu-anak. Hasil analisis ini mengungkapkan pengaruh budaya yang signifikan untuk kedua perilaku ibu. Secara khusus, dibandingkan dengan ibu Kanada, ibu Cina secara signifikan memperlihatkan jumlah low power strategy yang lebih rendah dan dan secara signifikan pula jumlah high power strategy-nya lebih tinggi. Hasil analisis mengenai perbedaan lintas budaya dalam perilaku anak menunjukkan bahwa, dibandingkan dengan anak-anak Kanada, anak-anak Cina secara signifikan menunjukkan jumlah permintaan koersif yang lebih tinggi, dan secara signifikan pula menunjukkan jumlah perilaku asertif yang lebih rendah.
Korelasi antara perilaku ibu dan perilaku anak dalam kedua sampel menunjukkan bahwa ibu dengan low power strategy secara signifikan berkorelasi positif dengan permintaan anak yang sopan. Dalam sampel Cina, ibu dengan low power strategy secara signifikan berkorelasi positif dengan ketegasan (assertiveness) anak. Sedangkan ibu dengan high power strategy secara signifikan berkorelasi positif dengan koersif anak. Untuk korelasi lainnya tidak ada yang signifikan antara perilaku ibu dan anak.
Penelitian ini menegaskan bahwa ibu Cina, secara umum lebih otoriter dan kurang otoritatif dibandingkan dengan ibu Kanada dalam konteks interaksi antara ibu dan anak. Meskipun demikian, ibu Cina menunjukkan low power strategies-nya lebih otoritatif daripada high power strategies yang otoriter. Korelasi antara praktek pengasuhan ibu dan perilaku anak merupakan sebuah lintas budaya yang serupa, meskipun tingkat besaran dan signifikansi beberapa hubungannya bervariasi. Penelitian ini memberikan informasi yang berharga tentang praktek pengasuhan dan hubungannya dengan perilaku anak di Cina dan Kanada. Temuan ini membantu pra profesional dan para orang tua untuk mengembangkan strategi yang memfasilitasi pengembangan perilaku adaptif pada anak-anak Kanada dan Cina.
Secara konsisten, dalam penelitian ini, ibu menggunakan strategi daya rendah secara signifikan dan positif terkait dengan permintaan sopan dari anak di kedua sampel. Peneliti berharap bahwa ibu dengan strategi daya tinggi akan berkorelasi positif dengan sikap memaksa terhadap anak-anak untuk kedua sampel. Namun, korelasi positif yang signifikan hanya ditemukan di sampel Cina. Meskipun ibu di kedua negara lebih autoritatif daripada otoriter, gaya orangtua yang otoriter adalah kurang ditoleransi dalam budaya Kanada dan budaya Cina (Chao, 2001; Wu dkk, 2002). Karena gaya otoriter orangtua akan menghambat ekspresi emosi, kemandirian dan otonomi, efeknya bisa lebih parah dan merugikan dalam suatu masyarakat. Dibandingkan dengan anak-anak Cina, anak-anak Kanada mungkin secara psikologis lebih rentan terhadap strategi tinggi kekuasaan orangtua daripada anak-anak China. Alih-alih mengekspresikan perasaan negatif melalui ketergantungan dan sikap memaksa, anak-anak Kanada dapat memilih untuk menekan perasaan negatif untuk menghindari konsekuensi yang tidak menyenangkan terkait dengan konfrontasi langsung dengan orangtua. Namun bagaimanapun, asosiasi ini harus dilihat lebih jauh dalam penelitian selanjutnya.
Peneliti juga mengharapkan daya strategi otoritatif orang tua yang rendah akan berkorelasi positif dengan menghasilkan anak yang tegas melalui penolakan dan negosiasi. Korelasi positif yang signifikan hanya ditemukan pada sampel Cina. Hal ini dimungkinkan juga karena penekanan budaya yang berbeda pada sifat yang bebas dan terbuka. Dalam masyarakat Cina, otonomi individu tidak begitu dinilai seperti di Kanada. Dibandingkan dengan anak-anak Kanada, anak-anak Cina mungkin akan lebih sensitif terhadap otonomi psikologis melalui strategi berwibawa yang rendah. Oleh karena itu, manfaat dari pengasuhan otoritatif dalam hal membina kebebasan dan otonomi itu terungkap dalam sampel Cina di mana korelasi antara pola asuh otoritatif ibu dan ketegasan anak tidak signifikan. Ini mungkin karena ketegasan diberi kode sebagai Menanggapi inisiasi ibu dalam penelitian ini. Sangat mungkin bahwa Anak-anak Kanada menunjukkan ketegasan dalam perilaku otonomi yang aktif seperti eksplorasi independen dalam mengambil keputusan. 

Gaya Pengasuhan Orangtua di Negara Cina

Republik Rakyat Cina (RRC) yang  juga disebut Republik Rakyat Tiongkok (RRT) adalah sebuah negara komunis yang terdiri dari hampir seluruh wilayah kebudayaan, sejarah, dan geografis yang dikenal sebagai Cina dengan penduduk terbanyak di dunia. Populasinya melebihi 1,3 miliar jiwa yang mayoritas bersuku bangsa Han. Hampir 59% penduduknya (lebih kurang 767 juta orang) menjadi Ateis atau tidak percaya Tuhan. Namun lebih kurang 33% dari mereka percaya kepada kepercayaan tradisi atau gabungan kepercayaan Buddha dan Taoisme. Selain itu ada juga penganut agama Islam dan Kristen di negara ini. Kebijakan pemerintah yang membatasi keluarga di perkotaan (kecuali etnis minoritas seperti Tibet) memiliki satu anak dan keluarga di pedalaman dua anak jika anak yang pertamanya wanita membuat jumlah perbandingan antara laki-laki dan perempuan tidak seimbang. Berbagai latar belakang inilah yang mempengaruhi gaya pengasuhan orangtua terhadap anaknya di negara Cina.

Penelitian empiris mengenai gaya pengasuhan di Cina dalam Liu dan Guo (2010) menunjukkan hasil yang beragam. Sebagai contoh penelitian yang ditemukan bahwa meskipun orang tua di Cina memberikan kontrol yang lebih dan otoriter dibandingkan dengan orang tua di Amerika Utara, prestasi akademik anak-anak Cina sama baiknya atau bahkan lebih baik daripada anak-anak dari Amerika utara (Dornbusch et al. 1987; Stevenson, Lee, Chen, Stigler, Hsu & Kitamura, 1990). Dengan demikian, beberapa peneliti berpendapat bahwa strategi kontrol dan otoriter mungkin memiliki nilai positif dalam masyarakat Cina, hal ini dikaitkan dengan hasil yang adaptif pada anak-anak Cina (Chiu, 1987; Ekblad, 1988). Sebaliknya, Chen dan rekan-rekannya berpendapat bahwa, terlepas dari perbedaan lintas-budaya antara orang tua Cina dan Barat berada di tingkat rata-rata terutama authoritativeness and authoritarianism, makna adaptational gaya pengasuhan dalam budaya Cina ini mirip dengan yang biasanya ditemukan di Barat. Secara khusus gaya pengasuhan authoritarian berhubungan positif dengan agresi dan penerimaan negatif pada teman sebaya, kompetensi sosial, dan pencapaian prestasi akademik di sekolah. Sebaliknya orang tua dengan gaya pengasuhan authoritative ditemukan berhubungan positif dengan indeks sosial dan penyesuaian di sekolah serta berhubungan negatif dengan masalah penyesuaian (Chen, Dong & Zhou, 1997). 

Salah satu contoh gaya pengasuhan dari budaya Cina dapat dilihat dari sebuah buku  yang berjudulBattle Hymn of the Tiger Mother” Karya Amy Chua yang kini merupakan best seller. Dalam memoarnya, ibu dari Sophia (18 tahun) dan Louisa (14 tahun) itu menceritakan kesuksesan serta kesalahan yang dibuatnya dalam mengasuh anak dengan gaya tradisional Cina. Gaya pengasuhan authoritarian yang diterapkan oleh Amy Chua membuat jemari si sulung, Sophia, di usia 14 tahun sudah mahir memainkan piano. Sedangkan, adiknya, Louisa memainkan biola tanpa sedikitpun nada sumbang. Selain itu, keduanya juga tampil sebagai jagoan akademik, sesuai dengan tuntutan ibunya untuk meraih nilai sempurna di semua mata pelajaran, kecuali olah raga dan drama. Masing-masing juga harus rutin berlatih alat musik yang dipilihkan Amy Chua. Selain itu, ibu yang menikah dengan pria Yahudi itu mengekang kedua putrinya dari kehidupan sosial. Mereka tak memiliki pengalaman menginap di rumah teman, pergi pesta, atau ikut pementasan drama. Seorang psikolog, A. Kasandra Putranto berkomentar mengenai hal ini dalam republika.co.id bahwa, “Dengan didikan seperti itu, generasi muda Cina memang banyak yang sukses namun emosinya datar,” hal ini disebabkan anak-anak Cina telah diperkenalkan pada falsafah hidup sejak kecil, mereka akan berusaha untuk tidak mempermalukan keluarga.

Contoh lain gaya pengasuhan budaya Cina bisa dilihat dalam sebuah rekaman video di situs youtube yang menampilkan seorang anak berusia 4 tahun dipaksa berlari di tengah salju dengan hanya memakai celana dalam dan sepatu kets. Sedangkan sang ayah yang bernama He (44), sibuk merekam dan terus menyuruh anaknya untuk berlari di tengah salju di New York, AS. Saat itu suhu udara di sana mencapai minus 13 derajat Celcius. Sang ayah bersikukuh bahwa hal itu membuahkan hasil positif, terutama bagi kesehatan putranya, Duo Duo, yang lahir prematur dan menderita beragam masalah kesehatan. Sekarang ini, Duo Duo dalam kondisi sangat sehat dan tidak pernah kembali ke rumah sakit. Tidak hanya itu, IQ anak tersebut kini sudah mencapai level jenius, yakni dengan poin 218. Hal ini membuat Duo Duo yang baru berumur 4 tahun, bisa melompati TK dan langsung masuk ke SD. He menyebut gaya pengasuhannya sebagai pola pengasuhan 'ayah elang'. Seekor elang muda belajar terbang ketika ibu mereka memaksa dan menjatuhkan mereka dari sarang mereka yang ada di tebing. Anak elang tersebut kemudian belajar untuk bertahan hidup melalui tes-tes yang keras (Disarikan dari Detiknews.com).

Jelaslah, bahwa gaya pengasuhan sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya yang telah terinternalisasi dalam diri orangtua. Dalam budaya Cina, anak-anak tidak dibiasakan tergantung pada orang lain dan selalu berusaha meningkatkan kompetensi diri. Apalagi dengan kebijakan pemerintah Cina yang memberlakukan aturan hanya memiliki satu anak dalam satu keluarga khususnya di perkotaan, membuat setiap keluarga berusaha untuk membimbing dan membesarkan anak dengan sebaik-baiknya dengan melakukan berbagai cara agar menjadi penerus keturunan yang sukses. Sehingga gaya pengasuhan yang cenderung otoriter dengan tetap menunjukkan rasa cinta, dinilai cocok untuk konteks ini. Setiap gaya pengasuhan memiliki aspek positif dan negatif. Perkembangan zaman yang semakin global dengan arus informasi yang semakin cepat bisa dijadikan bahan pengetahuan bagi setiap orangtua untuk menerapkan gaya pengasuhan yang lebih tepat sesuai dengan kondisi kontekstual dan  kepribadian anak.


Emotional Development in Children with Different Attachment Histories: The First Three Years (Grazyna Kochanska)


Penelitian ini mengenai perkembangan rasa takut, marah, dan bahagia pada anak-anak saat usia 9, 14, 22, dan 33 bulan yang dilakukan di rumah dan laboratorium selama 1,5 – 4 jam. Keluarga partisipan kebanyakan berkulit putih dengan berbagai latar belakang pendidikan dan pendapatan. Instrumen yang digunakan adalah The classic Strange Situation (Ainsworth & Wittig, 1969). Untuk rincian prosedur dan coding-nya dijelaskan pada Kochanska (1998). Dari 108 anak, sebanyak 58 anak (54%) termasuk golongan secure (B), dan sebanyak 50 (46%) termasuk golongan insecure. Dari golongan insecure ini 22 anak (20%) adalah avoidant (A), 18 anak (17%) adalah resistant (C), 8 anak (7%) adalah disorganized (D), dan 2 anak (2%) adalah unclassifiable (U).

Hasil penelitian didapat dari beberapa analisis yang dilakukan secara analog untuk episode emosi yang konsisten dan tidak konsisten. Analisis awal dilakukan untuk mengetahui stabilitas masing-masing emosi dari waktu ke waktu. Analisis kedua, pengembangan emosional pada anak dengan attachment bervariasi yang diperiksa dengan omnibus AMNOVA, yang tampak pada perkembangan ketiga sistem emosi, dalam empat grup attachment di empat periode penilaian (usia 9, 14, 22, dan 33) untuk kedua jenis kelamin. Ketiga, analisis regresi berganda (multiple regression) yang dilakukan untuk memeriksa apakah attachment yang aman di usia 14 bulan (variabel kontinu) bisa memprediksi skor emosi di usia 33 bulan (ukuran hasil), dengan masing-masing sistem emosi yang stabil. Untuk mengontrol stabilitasnya skor dimasukkan pada usia 9, 14 dan 22 bulan.
Kesimpulan hasil penelitian menunjukkan ketiga sistem emosi yang signifikan dan prediktornya sebesar 23% hingga 43% dalam menjelaskan variabel. Untuk setiap emosi pada usia anak 33 bulan, nilai sebelumnya terutama yang lebih baru menunjukkan prediktor yang signifikan. Faktor gender terkait dengan perbedaan yang signifikan terhadap rasa marah dan bahagia. Anak-anak yang mendapatkan attachment yang aman signifikansinya jauh lebih rendah dalam dua emosi negatif (rasa takut dan marah) pada anak usia 33 bulan, bahkan setelah dikontrol pengaruhnya terhadap stabilitas perkembangan emosi yang diberikan dan jenis kelamin anak.
Anak usia 33 bulan yang tersenyum saat episode rasa takut menunjukkan tidak ada pengaruhnya pada gender. Skor paling awal  (saat anak berusia 9, 14, dan 22 bulan) menyumbang sebesar 21% dari varian, sesuai dengan skor pada usia 14 dan 22 bulan. Attachment yang aman tidak menambah perbedaan penjelasan secara unik. Sedangkan mimik tersenyum pada anak perempuan usia 33 bulan lebih signifikan saat episode rasa marah sebesar 5% dari perbedaan yang dijelaskan. Skor episode rasa marah yang sebelumnya ditambah 14% dari perbedaan yang dijelaskan, kebanyakan bertepatan dengan skor saat berusia 22 bulan. Attachment yang aman tidak berkontribusi pada persamaan. Mengenai stres pada saat episode bahagia pada anak usia 33 bulan tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan karena jenis kelamin atau skor awal. Attachment pada masa bayi membuat kontribusi yang unik. Bayi yang merasa kurang aman lebih tertekan dalam menanggapi episode bahagia saat berusia 33 bulan.
Ketiga persamaan yang signifikan dan prediktor memberikan sebanyak 11% hingga 24% dari varian yang menjelaskan. Nilai sebelumnya yang diprediksi yaitu tersenyum dalam menanggapi episode yang dimaksudkan untuk memperoleh dua emosi negatif, serta perempuan  terkait dengan tersenyum selama paradigma menahan diri dalam permusuhan. Semakin rendah attachment aman pada masa bayi, maka semakin tertekan tanggapan bayi terhadap rangsangan yang dirancang untuk membuat pengaruh positif saat berusia 33 bulan.
Untuk mendapatkan gambaran menyeluruh dalam memprediksi emosionalitas anak-anak di usia 33 bulan, penilaiannya dibuat dalam dua kelompok besar. Pertama, kelompok emosi negatif yaitu rasa takut dalam episode ketakutan, marah dalam episode kemarahan, dan rasa tidak nyaman dalam episode bahagia. Kedua, kelompok emosi positif yaitu bahagia dalam episode kebahagiaan, dan rasa nyaman dalam episode ketakutan dan kemarahan. Kemudian dilakukan dua analog regresi, yang satu memprediksi emosi negatif dan yang lainnya memprediksi emosi positif pada anak usia 33 bulan. Jenis kelamin anak dimasukkan pada langkah pertama; semua nilai emosi awal (baik negatif maupun positif pada usia 9, 14, dan 22 bulan dibuat dengan cara analog dengan menggabungkanyya pada usia 33 bulan) yang kemudian dimasukkan pada langkah dua; kemudian skor attachment yang aman pada usia 14 buan dimasukkan pada langkah tiga.
Emosi negatif pada anak laki-laki usia 33 bulan dinyatakan  secara signifikan emosinya lebih negatif dibandingkan dengan yang dilakukan oleh anak perempuan. Skor sebelumnya memberikan sebagian (19%) dari varian dengan signifikan, sesuai dengan skor pada usia 22 bulan. Attachment yang aman pada usia 14 bulan menambah varian yang unik sebesar 12,5%. Anak-anak yang sudah lebih aman menunjukkan berkurangnya emosi negatif, setelah aspek gender dan stabilitas perkembangan emosinya dikontrol. Seluruh emosi negatif pada anak usia 33 bulan dalam empat kelompok dimasukkan ke dalam one-way-ANOVA: seluruh emosi negatif di usia 33 bulan adalah tertinggi di antara anak-anak avoidant, lebih signifikan daripada dalam kelompok yang aman.
Emosi positif pada anak usia 33 bulan tidak ada pengaruhnya terhadap jenis kelamin. Skor yang paling awal dihitung dengan signifikan (32%) dari sebagian varian. Sesuai dengan skor saat berusia 14 dan 22 bulan. Attachment yang aman pada anak usia 14 buan menambahkan sedikit varian yang signifikan yaitu sebesar 2%. Anak-anak yang sudah lebih aman cenderung menunjukkan emosi yang lebih positif, setelah stabilitas perkembangannya dikontrol.
Penelitian yang dilakukan oleh Kochanska ini menjelaskan dan menginformasikan pengetahuan mengenai gejala perkembangan emosi pada anak yang sangat belia dengan sejarah attachment yang berbeda. Tiga sistem emosi dasar yang diselidiki yaitu rasa takut, marah dan bahagia dengan mempelajari tanggapan yang ditimbulkan oleh rangsangan di laboratorium diyakini sebagian besar berpengaruh lebih kompleks pada perkembangan emosional anak-anak. Akan tetapi diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menjelaskan beberapa bentuk emosi negatif yang dimunculkan pada perkembangan awal atau apakah hal tersebut mewakili perubahan pengalaman dari rangsangan afektif. Studi ini memberikan data empiris mengenai perbedaan parameter dasar dari emosi takut, marah dan bahagia sebagai fungsi dari attachment awal yang akan bermanfaat untuk menguji apakah perbedaan ini memang memediasi hubungan antara attachment tersebut dengan aspek kompetensi di masa depan.

28 Oktober 2012

Easy Tuna


Pada dasarnya daging ikan Tuna sangat enak. Jadi dimasak apapun pastinya akan lezat. Pada awalnya saya suka membeli ikan tuna kalengan. Setelah dipikir-pikir kenapa ga coba bikin sendiri saja. Ternyata hasilnya cukup memuaskan. Raras dan bapaknya bisa nambah beberapa kali kalau masak tuna. Resep yang ini adalah paling gampang sedunia lho....

Pertama, siapkan ikan tuna segar atau beku. Potong-potong sesuai selera. Iris bawang putih secukupnya. Kebetulan suami dan anakku suka bawang putih, jadi biasanya kusiapkan agak banyak.

Kedua, tumis bawang putih dengan minyak goreng secukupnya kemudian masukkan tunanya, bolak-balik hingga berubah warna. Masukkan air hingga tuna agak terendam, beri garam dan gula pasir. Kecilkan api kompor dan tutup wajannya. Masak tuna hingga bumbu meresap dan cukup empuk.

Ketiga, hidangkan tuna dan siap disantap dengan nasi mengepul. Jika masih ada sisa, bisa dicampur dengan nasi goreng, atau bisa juga dicampur dengan saus spagheti. Pasti tambah lezat!!!

Kidzania (lagi)


Untuk yang ketiga kalinya Raras bermain di Kidzania, pada awal bulan Oktober. Kali ini sejak dari rumah, Raras bilang benar-benar ingin menjadi polisi, dokter, dan pemadam kebakaran. Oya? Tanyaku dalam hati. Kita lihat saja nanti.

Ternyata Raras benar-benar bersemangat dengan keinginannya. Lihat saja foto-foto berikut!

Aksi Raras saat menjadi polisi, berusaha mengejar penjahat
Lho ko, sepertinya kenal dengan penjahatnya ;)

Berusaha memadamkan api
sebuah gedung yangterbakar
bersama teman-teman lainnya
Menjadi Tim pemadam kebakaran


Menjadi perawat bayi

Sedang antri dengan sabar untuk menjadi pembuat kue

Menjadi pilot

Suasana di Kidzania town




25 Oktober 2012

Aku dan Ayahbunda





Majalah pertama yang membuatku
 jatuh cinta pada Ayahbunda
Saat kehamilan anak pertama, Raushani Putri Wilaga (Raras)-tujuh tahun lalu, saya mulai rajin membaca berbagai buku dan majalah mengenai perkembangan anak sejak dalam  rahim. Berdasarkan saran dari saudara sepupu, saya membeli Seri Ayahbunda: 9 Bulan yang Menakjubkan. Majalah yang amat sangat bermanfaat terutama bagi ibu hamil yang ingin mengetahui perkembangan janin setiap bulannya. Apalagi dengan dilengkapi gambar foto janin dalam rahim yang bisa membuatku berlama-lama menatapnya dengan takjub. Tidak hanya itu, panduan gerakan senam serta menu sehat seimbang untuk ibu hamil benar-benar membantu saya menjaga kesehatan dan memenuhi kebutuhan gizi agar janin juga tumbuh dengan baik. Karena manfaat yang saya rasakan begitu banyak maka saya selalu merekomendasikan majalah ini pada teman atau saudara yang tengah hamil.


Beberapa seri Ayahbunda
yang saya miliki
Seri Ayahbunda lainnya yang jadi peganganku selama merawat dan membesarkan Raras ialah Balita dan Masalah Perkembangannya, Balita Sehat, dan Makanan Sehat Lezat untuk Bayi dan Balita. Seri Ayahbunda ini pun siap menemani saat anak keduaku, Rahima Putri Wilaga (de Ima) lahir. Sayang sekali kehadirannya hanya sebentar, de Ima meninggal setelah lima hari menemani kami. Namun, majalah yang cukup lama tersimpan di antara tumpukan buku di perpustakaan rumah itu kembali di buka karena anakku yang ketiga, Rayyanova Putri Wilaga (de Nino), baru tiga bulan ini hadir memeriahkan suasana rumah. Ternyata artikel dalam seri Ayahbunda tersebut masih relevan dan sangat membantuku memantau perkembangan si kecil.

Website Ayahbunda pun sangat komplit dan menarik. Berbagai artikel, tools, informasi kegiatan, komunitas, waaahhh....seruuuuu pokoknya. Saya bisa buka beberapa tab sekaligus agar semakin banyak informasi yang di dapat. Bahkan saya berlangganan newsletter juga supaya tetap bisa mendapat info bermanfaat saat cek e-mail. Yang menarik dari web Ayahbunda ini ialah selain memberikan informasi mengenai seputar keluarga dan tumbuh kembang anak juga adanya tools yang membuat pengguna web semakin interaktif. Beberapa ebook, chart, atau gambar saya unduh dan print out untuk digunakan sebagai pegangan.

Salah satu ebook yang saya print out
Si kecil ikut merasakan manfaatnya

Ayahbunda juga sering mengadakan kegiatan tatap muka secara langsung. beberapa kali saya mengikuti kegiatan kopdarnya yaitu mengenai Passion bersama Rene Suhardono dan Pro Kontra Imunisasi. Kopdar bersama Ayahbunda merupakan pengalaman yang mengasyikkan dan penuh manfaat. Asyik karena ternyata yang dibahas tidak melulu masalah anak dan keluarga. Saat kopdar yang membicarakan passion, dibahas mengenai hasrat kita sebagai individu. Benar-benar menumbuhkan semangatku kembali untuk menata dan meraih cita-cita yang sempat tersimpan rapi sejak berkeluarga dan memiliki anak. Sedangkan kopdar mengenai pro kontra Imunisasi membuka dan menambah wawasan saya yang sempat khawatir dengan pemberian imunisasi pada anak. Dan yang semakin membuatku riang adalah goodie bag. Isinya bisa bermacam-macam: majalah, mug, biskuit, taplak meja, dll.

Saat Kopdar mengenai Passion dengan dresscode merah di Plaza Indonesia
(Saya sedang mengajukan pertanyaan :p)
Mengenai tumbuh kembang anak ternyata cukup kompleks. Selain seputar gizi juga mengenai perkembangan emosinya. seperti yang baru-baru ini saya hadapi yaitu perasaan cemburu kakak terhadap adik barunya. Meskipun sudah berusaha diantisipasi agar perasaan jealous tersebut tidak muncul ternyata dialami juga oleh anak sulungku. Beberapa tips dalam website Ayahbunda berikut cukup membantu mengatasi masalah tersebut. Terimakasih Ayahbunda!



Gambar Raras saat cemburu pada adiknya: menunjukkan Ibu, Bapak,
dan Raras tengah tersenyum sedangkan adiknya berwajah sedih
Kakak Raras mengajak ngobrol adiknya

12 Oktober 2012

Celoteh Raras (1)


Sebulan setelah dek Ima meninggal, saya ajak Raras mengunjungi makamnya. Raras tertegun, mungkin masih belum mengerti. Sepertinya masih terlalu dini memperkenalkan Raras dengan hal-hal eskatologis. Tetapi ini bisa menjadi pintu masuknya, perlahan-lahan Raras harus belajar memahami apa yang sebenarnya terjadi dengan adiknya.
Pada awalnya saya selalu mengalihkan pembicaraan jika Raras bertanya tentang dek Ima. Kemana dek Ima? Meninggal itu apa? Makam itu dimana? Aku pengen ketemu dek Ima, aku pengen main sama adikku. Ibu kan hamil terus melahirkan, sekarang bayinya mana? dan seterusnya.
“ini makam dek Ima. Coba Raras baca tulisan di batu itu,” pintaku pada Raras yang masih berdiri.
“Ra...hi...ma... Rahima!” Raras diam. Sepertinya dia sedang memikirkan sesuatu, “Terus, dek Imanya dimana?”
“Dek Ima ada di surga,” jawabku sambil menunjuk ke atas.
Raras mendongak ke atas, “di surga...” katanya pelan.
“Yuk, kita do’ain dek Ima.” Kemudian kami membaca surat Al-Fatihah bersama-sama.


Sejak itu, Raras sering semakin sering bertanya atau berkomentar:
“Kenapa dek Ima di makam? Kasian dek Ima sendirian disana, di dalam tanah kan ada ular, cacing, cucurut, binatang-binatang, serangga, ibuuuu....kasian dek Ima...”
Hatiku serasa diaduk-aduk mendengar pertanyaan dan melihat wajah sedih Raras yang berusaha memahami sesuatu yang sangat abstrak. “Raras, dek Ima itu sakit, terus meninggal, kalo orang meninggal harus dimakamkan. Jasadnya di dalam tanah, tapi jiwanya berada di surga.”
“Ibu, aku mau ke surga, aku mau ketemu dek Ima!”
Saya cuma bisa menelan ludah yang terasa sakit ditenggorokan, ah...kamu belum mengerti, Nak.
Semakin sering dia bertanya, maka semakin sering saya ajak ke makam. Setiap kali Raras bertanya, jawabanku pun selalu sama supaya Raras tidak semakin bingung.
Suatu hari, Raras memperlihatkan sebuah gambar, “Bu, ini gambar makam dek Ima, dan ini peri yang menjaga makam dek Ima, menemani dek Ima.”
Hatiku terharu melihat anakku yang sangat sayang sama adiknya.

Gambar peri yang menjaga makam dek Ima
***
Enam bulan setelah melahirkan dek Ima, saya dinyatakan positif hamil lagi. Tentu saja itu kabar gembira buat Raras.
“Horeee....aku akan punya adik lagi...!” teriaknya girang sambil memegang perutku. “Ibu, adikku yang ini tidak sakit, kan? Tidak meninggal, kan?”
“InsyaAlloh sehat. Yuk, kita do’ain adek bayinya sehat, jadi anak yang sholeh, cerdas, lucu, dan bahagia di dunia, juga selamat di akhirat.”
***
Pada kesempatan lain, Raras menghampiri dengan muka sedih, “ibu, aku tidak mau tumbuh dewasa.”
“Lho, kenapa?” tanyaku heran.
“Kalau aku dewasa nanti ibu menjadi tua, kalau ibu tua nanti meninggal seperti dek Ima. Aku tidak mau ibu meninggal...!”
Ealaaahhh...Nak...nak.... celotehmu membuat hati ibu tersenyum sekaligus terisak.
***

07 Oktober 2012

Ketika Kakak Cemburu Pada Adik


Seperti biasa, saya memandikan Raras pagi hari sebelum berangkat sekolah. Saya bersihkan badannya sambil ngobrol hal-hal sederhana. Terkadang untuk memancing rahasia yang dipendamnya pun saya lakukan saat mandi pagi. Misalnya saat Raras berselisih dengan temannya di sekolah, kegiatan apa saja yang dilakukan di rumah saat saya kuliah, atau alasan dia ngambek sepulang sekolah kemarin. Biasanya Raras menjawab dengan ringan dan lugu. Mungkin karena guyuran air yang segar sehingga interaksi kami lebih rileks.
Namun, ada yang sedikit mengagetkan saat mandi pagi tadi. Raras bilang, “ibu, anak ibu satu aja,” katanya dengan nada manja.
“Lho, kan anak ibu ada dua ditambah satu, yaitu Raras, dek Ima (alm), dan dek Nino” begitu jawabanku.
“aah... enggak, anak ibu satu yaitu Raras,” katanya sambil tertawa renyah. Aku tersenyum, mulai memahami perasaan anakku yang paling besar, dia Jealous pada saudara kandungnya yang masih berusia tiga bulan.
Akhir-akhir ini, Raras memang terlihat sering menatapku lekat saat sedang mengajak ngobrol si kecil yang diselingi pelukan dan kecupan. Raras menghampiri dan kemudian memegang tanganku, “anak ibu ada dua,” katanya perlahan. “Iyya, anak ibu dua ditambah satu,” jawabku sambil memeluk ke dua anak itu.
Di usia Raras yang masih belia (6 tahun), rasa cemburu pada adik sangat mungkin terjadi bahkan saat sang adik masih berada dalam kandungan. Namun, saya tidak melihat kecemburuan itu pada diri Raras. Dia suka mencium dan membelai, bahkan membacakan buku cerita pada adiknya. Raras sangat ingin punya adik. Sejak dek Ima meninggal dan saya hamil lagi, sepertinya Raras tidak sabar ingin punya adik. Dia selalu bilang akan mengajak adiknya main boneka dan main bola kalau sudah lahir nanti.
Sore harinya Raras menolak menemani Dek Nino ketika saya akan wudlu dan sholat Ashar. Dia malah menghentakan kaki dan bicara dengan setengah berteriak, “Aku tidak mau diganggu! Ibu sudah mengacaukan permainanku! Aku tidak punya teman di rumah ini!”
Aku tertegun, dan teringat kembali dengan kata-katanya saat mandi pagi. Kubiarkan emosinya keluar terlebih dahulu. Setelah itu, Raras menuju kamarnya, berbaring di tempat tidur dan memeluk guling sambil menghadap tembok.
Setelah Raras kelihatannya agak tenang, saya masuk ke kamarnya, ikut berbaring di tempat tidur sambil memeluk punggungnya. Setelah beberapa menit memeluknya, saya angkat bicara setengah berbisik di telinganya, “Kakak sayang, makasih ya sudah bantu ibu, menjadi anak yang mandiri, makan sendiri, gosok gigi sendiri, bikin susu sendiri, senang belajar, waaahhh hebat deh anak ibu... Makasih ya sayang,” kataku sambil mengecup rambutnya. Raras masih diam dengan mata terpejam, pura-pura tidur.
Kembali saya berbisik, “Kakak Raras, boleh ibu minta maaf? Mungkin ibu pernah salah, menyuruh saat Kakak sedang sibuk main.” Raras masih diam. “ibu dimaafkan, tidak?” tanyaku mengharapkan jawaban.
“Iyya...” jawabnya pelan sambil menganggukkan kepalanya. Kemudian Raras membalikkan badannya, memelukku erat, “ibu, aku sayang ibu...” kemudian diam lagi, “aku juga sayang Bapak dan dek Nino.”
Aku terharu. Dalam hatiku berkecamuk berbagai rasa, namun sesuatu yang terasa berat di dada berangsur hilang. Sudah lama tidak memeluk Raras seperti ini, mungkin sejak melahirkan si Kecil. Pantas saja dia cemburu. Maafkan ibu, Nak....
Sehari setelah dek Nino lahir



The Hardest Day of My Life


“Dan bersabarlah dalam menunggu ketetapan Tuhan-mu, maka sesungguhnya kamu berada dalam penglihatan Kami, dan bertasbihlah dengan memuji Tuhan-mu ketika kamu bangun berdiri” (QS. 52:48)
Satu-satunya foto bersama dek Ima
Apa kabar bayi mungilku? Ibu rindu padamu. Teramat rindu. Ingin memelukmu, menimang dan menciummu, dengan penuh kasih, penuh sayang. Tak terasa setahun sudah ibu melewati hari-hari dengan mengenangmu dalam hati, memeluk baju mungilmu yang lembut dan menatap wajahmu di foto.
***
Bayi mungil itu kami beri nama Rahima. Diambil dari salah satu sifat Allah SWT, Ar-Rahim yang artinya “Maha Penyayang.” Dalam Bahasa Indonesia kata itu digunakan untuk menyebut tempat janin selama berada dalam kandungan, yaitu “rahim,” menunjukkan tempat yang kokoh dan penuh kehangatan. Semoga bayi mungilku menjadi anak yang kuat, penuh kehangatan dan terutama senantiasa disayang oleh Alloh SWT.
Kelahirannya tanpa tangis, aku sudah mengetahui sebabnya. Seperti kebanyakan naluri seorang ibu, aku pun ingin memeluk dan meletakkan bayi yang baru lahir di dada dekat dengan jantungku. Namun, aku hanya bisa melihatnya dari kejauhan. Selang oksigen langsung dipasang beberapa saat setelah badannya dibersihkan. Bahagia dan bangga pada bayiku, telah berjuang lahir dengan proses normal dan lancar, padahal posisi lahirnya sungsang. Alhamdulillah, puji syukurku tak terhingga pada Tuhan Yang Maha Esa.
***
Hujan deras mengiringi malam. Ingin sekali menembus rintiknya berlari menemuimu. Sekedar menenangkan dirimu dari petir yang bersahutan, “tenang, Nak...ada ibu disini...” Tangisku berderai dalam diam. Hatiku sesak mengingat bayi mungilku sendirian dalam kotak inkubator, kesepian, dengan sakit yang tak mampu dia ceritakan. Bahkan tangisannya pun hanya berupa rintihan perlahan. Anakku nafasmu tersengal, dadamu naik turun. Siapapun yang melihat takkan sanggup menatap tubuh mungilmu yang berjuang untuk hidup. Rasanya ingin sekali menggantikan sakitmu, andai saja ibu bisa.
Esok pagi, bergegas aku menuju rumah sakit tempatmu berada. Ingin segera menemuimu, membelaimu melalui dua buah lubang di kotak inkubator. Hatiku sesak oleh cinta, cinta seorang ibu pada buah hatinya. Cinta ini mengalir melalui jemari tanganku, bergetar menelusuri pipi hingga telapak tangan yang dengan tiba-tiba menggenggam telunjukku dengan erat. Hatiku melonjak gembira. Bayiku akan segera sehat, akan segera pulang ke rumah berkumpul bersama bapak dan kakak Raras.
Mata kecil itu menatapku. Aku terdiam menikmati bergulirnya waktu dengan saling menatap. Duhai...tak ada yang lebih mengesankan selain tatapan kasih sayang antara ibu dan anak. Senyap namun deras mengalir sarat makna. Kemudian, kulantunkan beberapa ayat suci Al-Qur’an. Bayi itu seolah tertegun mendengar suaraku, seakan mengenali jauh sebelumnya. Tentu saja, karena aku melakukannya sejak hamil, sejak bayiku masih berupa titik, yang kutahu dari dua garis yang muncul di alat tes kehamilan.
Tahukah kau, Nak. Sejak dokter mengatakan kondisimu yang sebenarnya, jalan-jalan ke mall itu tak lagi menarik, berkumpul bersama teman, mengobrol, dan makan-makan tak lagi terlihat mengasyikkan. Bahkan melepaskan kuliah dan melipat cita-cita pun akan kulakukan. Karena kini aku lebih bersemangat denganmu. Aku hanya ingin memelukmu, menemani hidupmu, melewati apapun bersama, dan menjadikan dirimu anak yang paling beruntung sepanjang masa.
***
Mungkin begini rasanya, ketika alam seperti bersimpati pada keadaan yang menimpaku. Suasana ramai, kendaraan lalu lalang di jalan raya, orang-orang hilir mudik di depanku. Tapi pepohonan itu seolah menunduk sedih, matahari bersinar sayu, angin berhembus pilu. Perlahan gerimis menyapa, semua menjadi abu-abu. Suara-suara di sekelilingku berisik, namun sampai ditelingaku berupa hening yang mencekam. Sayup-sayup hatiku berbisik, “the hardest day of my life.” Berulang-ulang kalimat itu muncul, lagi dan lagi.
Ya Alloh, anugerahkan yang terbaik untuk anakku. Jika umurnya panjang, hidupkan dalam kondisi sebaik-baiknya ciptaanmu. Namun jika tidak... aku ikhlas, ridho dengan ketentuan-Mu.
***
Aku tergopoh-gopoh ke rumah sakit sambil menuntun Raras. Berusaha kutenangkan hatiku, bahwa semuanya baik-baik saja. Kuhitung langkahku yang semakin terasa berat melewati ubin demi ubin, terasa jauh sekali, tak kunjung sampai jua. Kulewati pintu ruangan, mataku langsung tertuju pada kotak inkubator tempat bayi mungilku berada. Aku terkesiap, badannya ditutup kain. Rasanya runtuh semua isi bumi ini menimpaku....

Mengenang buah hatiku: Rahima Putri Wilaga (30 April 2011 – 5 Mei 2011)

03 Oktober 2012

Gara-gara Secangkir Kopi

Pukul sepuluh aku sampai di Bandara Internasional Balikpapan Sepinggan. Sebelumnya menggunakan pesawat kecil Pelita Air dari Bontang Kalimantan Timur bersama beberapa teman. Kemudian bersiap menuju Jakarta dengan Lion Air.
Diperjalanan aku membolak balik majalah dan buku do’a beberapa agama yang tersedia di balik kursi, tentu tidak boleh dibawa pulang. Seorang pramugari mendekat dengan roda minuman. Aku meminta kopi panas. Kopi nikmat yang wanginya membangunkan sel-sel syaraf di otak, yang kuharap bisa membuatku terjaga dan menikmati perjalanan di atas awan. Beberapa menit kemudian perutku terasa melilit-lilit. Aku mulai gusar. Rupanya kopi yang tadi kuminum berpengaruh juga pada pencernaanku. Wadduh... aku tak mau buang air besar di atas pesawat. Aku berusaha menahannya, namun perutku malah semakin mulas. Akhirnya aku menyerah dan bergegas ke kamar kecil. Dalam  toilet yang sempit itu aku hanya berdiri saja. Aku  ragu jika mesti buang air besar dengar air terbatas. Pesawat bergoyang, aku jadi teringat dengan kecelakaan pesawat Lion Air beberapa minggu yang lalu. “Ya Alloh, sekiranya saya akan mati, matikan aku dalam keadaan nyaman setelah mengeluarkan isi perut ini.” Pintu diketuk dari luar. Aku semakin bingung. Akhirnya aku hanya membasuh tangan dengan air hangat agar mulasnya berkurang.
Kepada para penumpang dimohon tidak melepas sabuk pengaman karena pesawat mengudara dalam cuaca buruk.” Aku duduk kembali dengan keringat dingin disekujur tubuh. “Ya Alloh…kuatkan aku….” batinku dalam hati. Tapi kali ini benar-benar tak bisa kutahan. Ups, aku kentut. Tak bersuara tapi beraroma pekat. Sayangnya bukan beraroma kopi.
"Siapa yang kentut?" bisik Ana, sahabatku yang duduk tepat disebelahku.
Aku menjawab dengan mataku sambil tersenyum malu. "Gara-gara kopi yang tadi kuminum, kayaknya," jawabku beralasan.
Alhamdulillah pesawat mendarat dengan selamat. Sesampainya di darat aku langsung bergegas menuju kamar kecil. Sepuas-puasnya duduk di “bilik merenung.” Setelah selesai aku keluar dengan perasaan lega. Namun beberapa saat kemudian aku kembali bingung. Teman-temanku sudah tidak ada, barang-barang bawaan juga tidak ada. Toilet dan sekitarnya sepi, lorong di depanku hening. Hanya ada satu dua orang petugas.
“Mbak! Sini Mbak!” Aku menoleh ke arah sumber suara dan menghampiri. “Mbak dari Madinah, kan? Taksinya sebelah sini.” Aku semakin bingung dikira TKW dari Madinah, “Maaf bukan, Pak,” jawabku dengan santun. Untunglah pulsa hanndphoneku masih mencukupi untuk menghubungi Kang Iwan, sang pimpinan rombongan

***.
Pantesan kurang satu.” Kata kang Iwan diiringi gelak tawa teman-teman saat aku muncul dihadapan mereka yang tengah duduk bergerombol menanti bis untuk melanjutkan perjalanan ke Bandung. Aku hanya tersenyum kesal bercampur senang. Aiiihhh.... gara-gara kopi!


(Perjalanan tak terlupakan bersama teman-teman MQ di Bontang Kaltim, tahun 2004)

Bandar Djakarta, Sea Food Sea Side


Suami Cuma bilang akan berbuka puasa di restoran sea food di Ancol. Waaaw... pasti seru makan-makan enak di pinggir pantai. Teringat dulu pernah makan kepiting sepuasnya di suatu restoran di pantai Kalimantan Timur. Bukan cuma kepitingnya saja yang enak tapi suasananya juga mendukung.
Di Bandar Djakarta, makanan yang terhidang bermacam-macam. Udang, cumi, lobster, ikan, beberapa menu sayuran, dan lain-lain.  Disinilah pertama kali saya makan kerang bambu, makanan yang pernah saya lihat di salah satu channel TV berbayar. Rasanya enyaaakkk sekali, untuk menunjukkan rasa enak yang kenyal heheheh.... Disini pula pertama kali saya makan kepiting alaska. Tentu saja rasanya maknyusss sesuai dengan haganya yang hmmm...glek... hahahha....
Alhamdulillah kenyang, sangat kenyang malah. Suasananya benar-benar asyik banget, deh. Angin pantai, gelombang ombak, kelap-kelip lampu, dan hilir mudik perahu. Puas rasanya.

dihalamanbelakang.blogspot.com
Wajah-wajah kekenyangan :)