01 November 2012

Parenting Practices and Their Relevance to Child Behaviors in Canada and China (Mowei Liu dan Feng Guo, 2010)


Penelitian ini menelaah praktik pengasuhan dan relevansinya dengan perilaku anak di Kanada dan Cina. Data yang digunakan dalam penelitian ini diambil dari proyek lintas budaya pada aspek sosial-emosional dan perkembangan kognitif anak-anak yang berasal dari Cina dan Kanada. Responden dari Kanada sebanyak 40 anak-anak (20 anak laki-laki, 20 perempuan) dengan usia rata-rata 5,5 tahun dan usia rata-rata ibu 36 tahun. Sedangkan responden dari Cina sebanyak 39 anak-anak (17 anak laki-laki, 22 perempuan) dengan usia rata-rata 4,8 tahun dan usia rata-rata ibu 33,3 tahun.
Semua responden dari Kanada adalah Kaukasia. Dalam aspek pekerjaan, sebanyak 9% ibu tidak bekerja, sementara di antara ibu yang bekerja, sebanyak 68,5% bekerja full time. Dalam aspek pendidikan 9% ibu berpendidikan hingga SMU, sedangkan 91% berpendidikan hingga perguruan tinggi atau pascasarjana. Responden anak-anak sebanyak 8% merupakan anak tunggal, 34% adalah anak pertama, dan 58% adalah anak kedua atau ketiga. Rata-rata pendapatan tahunan rumah tangga sebesar $ 81,423.73.
Responden dari Cina sebanyak 97% berasal dari etnis Cina Han. Dalam aspek pekerjaan, sebanyak 11% dari ibu tidak bekerja, sedangkan di antara ibu yang bekerja, 75% bekerja full time. Dalam aspek pekerjaan sebanyak 33% ibu berpendidikan hingga SMU, 67% berpendidikan hingga perguruan tinggi atau pascasarjana. Responden anak-anak sebanyak 82% merupakan anak tunggal, dan 18% adalah anak kedua atau ketiga. Rata-rata pendapatan tahunan rumah tangga sebesar RMB58762.50. Meskipun kedua sampel berbeda pada faktor-faktor demografi seperti pendapatan keluarga, status pekerjaan ibu dan tingkat pendidikan ibu, setiap sampel merupakan perwakilan dari status sosial ekonomi rata-rata keluarga di perkotaan di daerah masing-masing negara.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan gender yang signifikan pada variabel ibu dan anak baik Cina maupun Kanada. Karena itu, tidak ada skor yang terpisah untuk anak laki-laki maupun perempuan. Hasil lainnya adalah sebuah analisis multivariat kovarians (MANCOVA) dilakukan untuk menilai apakah ada perbedaan lintas budaya dalam perilaku ibu yang dilhat dalam interaksi antara ibu-anak. Hasil analisis ini mengungkapkan pengaruh budaya yang signifikan untuk kedua perilaku ibu. Secara khusus, dibandingkan dengan ibu Kanada, ibu Cina secara signifikan memperlihatkan jumlah low power strategy yang lebih rendah dan dan secara signifikan pula jumlah high power strategy-nya lebih tinggi. Hasil analisis mengenai perbedaan lintas budaya dalam perilaku anak menunjukkan bahwa, dibandingkan dengan anak-anak Kanada, anak-anak Cina secara signifikan menunjukkan jumlah permintaan koersif yang lebih tinggi, dan secara signifikan pula menunjukkan jumlah perilaku asertif yang lebih rendah.
Korelasi antara perilaku ibu dan perilaku anak dalam kedua sampel menunjukkan bahwa ibu dengan low power strategy secara signifikan berkorelasi positif dengan permintaan anak yang sopan. Dalam sampel Cina, ibu dengan low power strategy secara signifikan berkorelasi positif dengan ketegasan (assertiveness) anak. Sedangkan ibu dengan high power strategy secara signifikan berkorelasi positif dengan koersif anak. Untuk korelasi lainnya tidak ada yang signifikan antara perilaku ibu dan anak.
Penelitian ini menegaskan bahwa ibu Cina, secara umum lebih otoriter dan kurang otoritatif dibandingkan dengan ibu Kanada dalam konteks interaksi antara ibu dan anak. Meskipun demikian, ibu Cina menunjukkan low power strategies-nya lebih otoritatif daripada high power strategies yang otoriter. Korelasi antara praktek pengasuhan ibu dan perilaku anak merupakan sebuah lintas budaya yang serupa, meskipun tingkat besaran dan signifikansi beberapa hubungannya bervariasi. Penelitian ini memberikan informasi yang berharga tentang praktek pengasuhan dan hubungannya dengan perilaku anak di Cina dan Kanada. Temuan ini membantu pra profesional dan para orang tua untuk mengembangkan strategi yang memfasilitasi pengembangan perilaku adaptif pada anak-anak Kanada dan Cina.
Secara konsisten, dalam penelitian ini, ibu menggunakan strategi daya rendah secara signifikan dan positif terkait dengan permintaan sopan dari anak di kedua sampel. Peneliti berharap bahwa ibu dengan strategi daya tinggi akan berkorelasi positif dengan sikap memaksa terhadap anak-anak untuk kedua sampel. Namun, korelasi positif yang signifikan hanya ditemukan di sampel Cina. Meskipun ibu di kedua negara lebih autoritatif daripada otoriter, gaya orangtua yang otoriter adalah kurang ditoleransi dalam budaya Kanada dan budaya Cina (Chao, 2001; Wu dkk, 2002). Karena gaya otoriter orangtua akan menghambat ekspresi emosi, kemandirian dan otonomi, efeknya bisa lebih parah dan merugikan dalam suatu masyarakat. Dibandingkan dengan anak-anak Cina, anak-anak Kanada mungkin secara psikologis lebih rentan terhadap strategi tinggi kekuasaan orangtua daripada anak-anak China. Alih-alih mengekspresikan perasaan negatif melalui ketergantungan dan sikap memaksa, anak-anak Kanada dapat memilih untuk menekan perasaan negatif untuk menghindari konsekuensi yang tidak menyenangkan terkait dengan konfrontasi langsung dengan orangtua. Namun bagaimanapun, asosiasi ini harus dilihat lebih jauh dalam penelitian selanjutnya.
Peneliti juga mengharapkan daya strategi otoritatif orang tua yang rendah akan berkorelasi positif dengan menghasilkan anak yang tegas melalui penolakan dan negosiasi. Korelasi positif yang signifikan hanya ditemukan pada sampel Cina. Hal ini dimungkinkan juga karena penekanan budaya yang berbeda pada sifat yang bebas dan terbuka. Dalam masyarakat Cina, otonomi individu tidak begitu dinilai seperti di Kanada. Dibandingkan dengan anak-anak Kanada, anak-anak Cina mungkin akan lebih sensitif terhadap otonomi psikologis melalui strategi berwibawa yang rendah. Oleh karena itu, manfaat dari pengasuhan otoritatif dalam hal membina kebebasan dan otonomi itu terungkap dalam sampel Cina di mana korelasi antara pola asuh otoritatif ibu dan ketegasan anak tidak signifikan. Ini mungkin karena ketegasan diberi kode sebagai Menanggapi inisiasi ibu dalam penelitian ini. Sangat mungkin bahwa Anak-anak Kanada menunjukkan ketegasan dalam perilaku otonomi yang aktif seperti eksplorasi independen dalam mengambil keputusan. 

Gaya Pengasuhan Orangtua di Negara Cina

Republik Rakyat Cina (RRC) yang  juga disebut Republik Rakyat Tiongkok (RRT) adalah sebuah negara komunis yang terdiri dari hampir seluruh wilayah kebudayaan, sejarah, dan geografis yang dikenal sebagai Cina dengan penduduk terbanyak di dunia. Populasinya melebihi 1,3 miliar jiwa yang mayoritas bersuku bangsa Han. Hampir 59% penduduknya (lebih kurang 767 juta orang) menjadi Ateis atau tidak percaya Tuhan. Namun lebih kurang 33% dari mereka percaya kepada kepercayaan tradisi atau gabungan kepercayaan Buddha dan Taoisme. Selain itu ada juga penganut agama Islam dan Kristen di negara ini. Kebijakan pemerintah yang membatasi keluarga di perkotaan (kecuali etnis minoritas seperti Tibet) memiliki satu anak dan keluarga di pedalaman dua anak jika anak yang pertamanya wanita membuat jumlah perbandingan antara laki-laki dan perempuan tidak seimbang. Berbagai latar belakang inilah yang mempengaruhi gaya pengasuhan orangtua terhadap anaknya di negara Cina.

Penelitian empiris mengenai gaya pengasuhan di Cina dalam Liu dan Guo (2010) menunjukkan hasil yang beragam. Sebagai contoh penelitian yang ditemukan bahwa meskipun orang tua di Cina memberikan kontrol yang lebih dan otoriter dibandingkan dengan orang tua di Amerika Utara, prestasi akademik anak-anak Cina sama baiknya atau bahkan lebih baik daripada anak-anak dari Amerika utara (Dornbusch et al. 1987; Stevenson, Lee, Chen, Stigler, Hsu & Kitamura, 1990). Dengan demikian, beberapa peneliti berpendapat bahwa strategi kontrol dan otoriter mungkin memiliki nilai positif dalam masyarakat Cina, hal ini dikaitkan dengan hasil yang adaptif pada anak-anak Cina (Chiu, 1987; Ekblad, 1988). Sebaliknya, Chen dan rekan-rekannya berpendapat bahwa, terlepas dari perbedaan lintas-budaya antara orang tua Cina dan Barat berada di tingkat rata-rata terutama authoritativeness and authoritarianism, makna adaptational gaya pengasuhan dalam budaya Cina ini mirip dengan yang biasanya ditemukan di Barat. Secara khusus gaya pengasuhan authoritarian berhubungan positif dengan agresi dan penerimaan negatif pada teman sebaya, kompetensi sosial, dan pencapaian prestasi akademik di sekolah. Sebaliknya orang tua dengan gaya pengasuhan authoritative ditemukan berhubungan positif dengan indeks sosial dan penyesuaian di sekolah serta berhubungan negatif dengan masalah penyesuaian (Chen, Dong & Zhou, 1997). 

Salah satu contoh gaya pengasuhan dari budaya Cina dapat dilihat dari sebuah buku  yang berjudulBattle Hymn of the Tiger Mother” Karya Amy Chua yang kini merupakan best seller. Dalam memoarnya, ibu dari Sophia (18 tahun) dan Louisa (14 tahun) itu menceritakan kesuksesan serta kesalahan yang dibuatnya dalam mengasuh anak dengan gaya tradisional Cina. Gaya pengasuhan authoritarian yang diterapkan oleh Amy Chua membuat jemari si sulung, Sophia, di usia 14 tahun sudah mahir memainkan piano. Sedangkan, adiknya, Louisa memainkan biola tanpa sedikitpun nada sumbang. Selain itu, keduanya juga tampil sebagai jagoan akademik, sesuai dengan tuntutan ibunya untuk meraih nilai sempurna di semua mata pelajaran, kecuali olah raga dan drama. Masing-masing juga harus rutin berlatih alat musik yang dipilihkan Amy Chua. Selain itu, ibu yang menikah dengan pria Yahudi itu mengekang kedua putrinya dari kehidupan sosial. Mereka tak memiliki pengalaman menginap di rumah teman, pergi pesta, atau ikut pementasan drama. Seorang psikolog, A. Kasandra Putranto berkomentar mengenai hal ini dalam republika.co.id bahwa, “Dengan didikan seperti itu, generasi muda Cina memang banyak yang sukses namun emosinya datar,” hal ini disebabkan anak-anak Cina telah diperkenalkan pada falsafah hidup sejak kecil, mereka akan berusaha untuk tidak mempermalukan keluarga.

Contoh lain gaya pengasuhan budaya Cina bisa dilihat dalam sebuah rekaman video di situs youtube yang menampilkan seorang anak berusia 4 tahun dipaksa berlari di tengah salju dengan hanya memakai celana dalam dan sepatu kets. Sedangkan sang ayah yang bernama He (44), sibuk merekam dan terus menyuruh anaknya untuk berlari di tengah salju di New York, AS. Saat itu suhu udara di sana mencapai minus 13 derajat Celcius. Sang ayah bersikukuh bahwa hal itu membuahkan hasil positif, terutama bagi kesehatan putranya, Duo Duo, yang lahir prematur dan menderita beragam masalah kesehatan. Sekarang ini, Duo Duo dalam kondisi sangat sehat dan tidak pernah kembali ke rumah sakit. Tidak hanya itu, IQ anak tersebut kini sudah mencapai level jenius, yakni dengan poin 218. Hal ini membuat Duo Duo yang baru berumur 4 tahun, bisa melompati TK dan langsung masuk ke SD. He menyebut gaya pengasuhannya sebagai pola pengasuhan 'ayah elang'. Seekor elang muda belajar terbang ketika ibu mereka memaksa dan menjatuhkan mereka dari sarang mereka yang ada di tebing. Anak elang tersebut kemudian belajar untuk bertahan hidup melalui tes-tes yang keras (Disarikan dari Detiknews.com).

Jelaslah, bahwa gaya pengasuhan sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya yang telah terinternalisasi dalam diri orangtua. Dalam budaya Cina, anak-anak tidak dibiasakan tergantung pada orang lain dan selalu berusaha meningkatkan kompetensi diri. Apalagi dengan kebijakan pemerintah Cina yang memberlakukan aturan hanya memiliki satu anak dalam satu keluarga khususnya di perkotaan, membuat setiap keluarga berusaha untuk membimbing dan membesarkan anak dengan sebaik-baiknya dengan melakukan berbagai cara agar menjadi penerus keturunan yang sukses. Sehingga gaya pengasuhan yang cenderung otoriter dengan tetap menunjukkan rasa cinta, dinilai cocok untuk konteks ini. Setiap gaya pengasuhan memiliki aspek positif dan negatif. Perkembangan zaman yang semakin global dengan arus informasi yang semakin cepat bisa dijadikan bahan pengetahuan bagi setiap orangtua untuk menerapkan gaya pengasuhan yang lebih tepat sesuai dengan kondisi kontekstual dan  kepribadian anak.


Emotional Development in Children with Different Attachment Histories: The First Three Years (Grazyna Kochanska)


Penelitian ini mengenai perkembangan rasa takut, marah, dan bahagia pada anak-anak saat usia 9, 14, 22, dan 33 bulan yang dilakukan di rumah dan laboratorium selama 1,5 – 4 jam. Keluarga partisipan kebanyakan berkulit putih dengan berbagai latar belakang pendidikan dan pendapatan. Instrumen yang digunakan adalah The classic Strange Situation (Ainsworth & Wittig, 1969). Untuk rincian prosedur dan coding-nya dijelaskan pada Kochanska (1998). Dari 108 anak, sebanyak 58 anak (54%) termasuk golongan secure (B), dan sebanyak 50 (46%) termasuk golongan insecure. Dari golongan insecure ini 22 anak (20%) adalah avoidant (A), 18 anak (17%) adalah resistant (C), 8 anak (7%) adalah disorganized (D), dan 2 anak (2%) adalah unclassifiable (U).

Hasil penelitian didapat dari beberapa analisis yang dilakukan secara analog untuk episode emosi yang konsisten dan tidak konsisten. Analisis awal dilakukan untuk mengetahui stabilitas masing-masing emosi dari waktu ke waktu. Analisis kedua, pengembangan emosional pada anak dengan attachment bervariasi yang diperiksa dengan omnibus AMNOVA, yang tampak pada perkembangan ketiga sistem emosi, dalam empat grup attachment di empat periode penilaian (usia 9, 14, 22, dan 33) untuk kedua jenis kelamin. Ketiga, analisis regresi berganda (multiple regression) yang dilakukan untuk memeriksa apakah attachment yang aman di usia 14 bulan (variabel kontinu) bisa memprediksi skor emosi di usia 33 bulan (ukuran hasil), dengan masing-masing sistem emosi yang stabil. Untuk mengontrol stabilitasnya skor dimasukkan pada usia 9, 14 dan 22 bulan.
Kesimpulan hasil penelitian menunjukkan ketiga sistem emosi yang signifikan dan prediktornya sebesar 23% hingga 43% dalam menjelaskan variabel. Untuk setiap emosi pada usia anak 33 bulan, nilai sebelumnya terutama yang lebih baru menunjukkan prediktor yang signifikan. Faktor gender terkait dengan perbedaan yang signifikan terhadap rasa marah dan bahagia. Anak-anak yang mendapatkan attachment yang aman signifikansinya jauh lebih rendah dalam dua emosi negatif (rasa takut dan marah) pada anak usia 33 bulan, bahkan setelah dikontrol pengaruhnya terhadap stabilitas perkembangan emosi yang diberikan dan jenis kelamin anak.
Anak usia 33 bulan yang tersenyum saat episode rasa takut menunjukkan tidak ada pengaruhnya pada gender. Skor paling awal  (saat anak berusia 9, 14, dan 22 bulan) menyumbang sebesar 21% dari varian, sesuai dengan skor pada usia 14 dan 22 bulan. Attachment yang aman tidak menambah perbedaan penjelasan secara unik. Sedangkan mimik tersenyum pada anak perempuan usia 33 bulan lebih signifikan saat episode rasa marah sebesar 5% dari perbedaan yang dijelaskan. Skor episode rasa marah yang sebelumnya ditambah 14% dari perbedaan yang dijelaskan, kebanyakan bertepatan dengan skor saat berusia 22 bulan. Attachment yang aman tidak berkontribusi pada persamaan. Mengenai stres pada saat episode bahagia pada anak usia 33 bulan tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan karena jenis kelamin atau skor awal. Attachment pada masa bayi membuat kontribusi yang unik. Bayi yang merasa kurang aman lebih tertekan dalam menanggapi episode bahagia saat berusia 33 bulan.
Ketiga persamaan yang signifikan dan prediktor memberikan sebanyak 11% hingga 24% dari varian yang menjelaskan. Nilai sebelumnya yang diprediksi yaitu tersenyum dalam menanggapi episode yang dimaksudkan untuk memperoleh dua emosi negatif, serta perempuan  terkait dengan tersenyum selama paradigma menahan diri dalam permusuhan. Semakin rendah attachment aman pada masa bayi, maka semakin tertekan tanggapan bayi terhadap rangsangan yang dirancang untuk membuat pengaruh positif saat berusia 33 bulan.
Untuk mendapatkan gambaran menyeluruh dalam memprediksi emosionalitas anak-anak di usia 33 bulan, penilaiannya dibuat dalam dua kelompok besar. Pertama, kelompok emosi negatif yaitu rasa takut dalam episode ketakutan, marah dalam episode kemarahan, dan rasa tidak nyaman dalam episode bahagia. Kedua, kelompok emosi positif yaitu bahagia dalam episode kebahagiaan, dan rasa nyaman dalam episode ketakutan dan kemarahan. Kemudian dilakukan dua analog regresi, yang satu memprediksi emosi negatif dan yang lainnya memprediksi emosi positif pada anak usia 33 bulan. Jenis kelamin anak dimasukkan pada langkah pertama; semua nilai emosi awal (baik negatif maupun positif pada usia 9, 14, dan 22 bulan dibuat dengan cara analog dengan menggabungkanyya pada usia 33 bulan) yang kemudian dimasukkan pada langkah dua; kemudian skor attachment yang aman pada usia 14 buan dimasukkan pada langkah tiga.
Emosi negatif pada anak laki-laki usia 33 bulan dinyatakan  secara signifikan emosinya lebih negatif dibandingkan dengan yang dilakukan oleh anak perempuan. Skor sebelumnya memberikan sebagian (19%) dari varian dengan signifikan, sesuai dengan skor pada usia 22 bulan. Attachment yang aman pada usia 14 bulan menambah varian yang unik sebesar 12,5%. Anak-anak yang sudah lebih aman menunjukkan berkurangnya emosi negatif, setelah aspek gender dan stabilitas perkembangan emosinya dikontrol. Seluruh emosi negatif pada anak usia 33 bulan dalam empat kelompok dimasukkan ke dalam one-way-ANOVA: seluruh emosi negatif di usia 33 bulan adalah tertinggi di antara anak-anak avoidant, lebih signifikan daripada dalam kelompok yang aman.
Emosi positif pada anak usia 33 bulan tidak ada pengaruhnya terhadap jenis kelamin. Skor yang paling awal dihitung dengan signifikan (32%) dari sebagian varian. Sesuai dengan skor saat berusia 14 dan 22 bulan. Attachment yang aman pada anak usia 14 buan menambahkan sedikit varian yang signifikan yaitu sebesar 2%. Anak-anak yang sudah lebih aman cenderung menunjukkan emosi yang lebih positif, setelah stabilitas perkembangannya dikontrol.
Penelitian yang dilakukan oleh Kochanska ini menjelaskan dan menginformasikan pengetahuan mengenai gejala perkembangan emosi pada anak yang sangat belia dengan sejarah attachment yang berbeda. Tiga sistem emosi dasar yang diselidiki yaitu rasa takut, marah dan bahagia dengan mempelajari tanggapan yang ditimbulkan oleh rangsangan di laboratorium diyakini sebagian besar berpengaruh lebih kompleks pada perkembangan emosional anak-anak. Akan tetapi diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menjelaskan beberapa bentuk emosi negatif yang dimunculkan pada perkembangan awal atau apakah hal tersebut mewakili perubahan pengalaman dari rangsangan afektif. Studi ini memberikan data empiris mengenai perbedaan parameter dasar dari emosi takut, marah dan bahagia sebagai fungsi dari attachment awal yang akan bermanfaat untuk menguji apakah perbedaan ini memang memediasi hubungan antara attachment tersebut dengan aspek kompetensi di masa depan.