28 Oktober 2012

Easy Tuna


Pada dasarnya daging ikan Tuna sangat enak. Jadi dimasak apapun pastinya akan lezat. Pada awalnya saya suka membeli ikan tuna kalengan. Setelah dipikir-pikir kenapa ga coba bikin sendiri saja. Ternyata hasilnya cukup memuaskan. Raras dan bapaknya bisa nambah beberapa kali kalau masak tuna. Resep yang ini adalah paling gampang sedunia lho....

Pertama, siapkan ikan tuna segar atau beku. Potong-potong sesuai selera. Iris bawang putih secukupnya. Kebetulan suami dan anakku suka bawang putih, jadi biasanya kusiapkan agak banyak.

Kedua, tumis bawang putih dengan minyak goreng secukupnya kemudian masukkan tunanya, bolak-balik hingga berubah warna. Masukkan air hingga tuna agak terendam, beri garam dan gula pasir. Kecilkan api kompor dan tutup wajannya. Masak tuna hingga bumbu meresap dan cukup empuk.

Ketiga, hidangkan tuna dan siap disantap dengan nasi mengepul. Jika masih ada sisa, bisa dicampur dengan nasi goreng, atau bisa juga dicampur dengan saus spagheti. Pasti tambah lezat!!!

Kidzania (lagi)


Untuk yang ketiga kalinya Raras bermain di Kidzania, pada awal bulan Oktober. Kali ini sejak dari rumah, Raras bilang benar-benar ingin menjadi polisi, dokter, dan pemadam kebakaran. Oya? Tanyaku dalam hati. Kita lihat saja nanti.

Ternyata Raras benar-benar bersemangat dengan keinginannya. Lihat saja foto-foto berikut!

Aksi Raras saat menjadi polisi, berusaha mengejar penjahat
Lho ko, sepertinya kenal dengan penjahatnya ;)

Berusaha memadamkan api
sebuah gedung yangterbakar
bersama teman-teman lainnya
Menjadi Tim pemadam kebakaran


Menjadi perawat bayi

Sedang antri dengan sabar untuk menjadi pembuat kue

Menjadi pilot

Suasana di Kidzania town




25 Oktober 2012

Aku dan Ayahbunda





Majalah pertama yang membuatku
 jatuh cinta pada Ayahbunda
Saat kehamilan anak pertama, Raushani Putri Wilaga (Raras)-tujuh tahun lalu, saya mulai rajin membaca berbagai buku dan majalah mengenai perkembangan anak sejak dalam  rahim. Berdasarkan saran dari saudara sepupu, saya membeli Seri Ayahbunda: 9 Bulan yang Menakjubkan. Majalah yang amat sangat bermanfaat terutama bagi ibu hamil yang ingin mengetahui perkembangan janin setiap bulannya. Apalagi dengan dilengkapi gambar foto janin dalam rahim yang bisa membuatku berlama-lama menatapnya dengan takjub. Tidak hanya itu, panduan gerakan senam serta menu sehat seimbang untuk ibu hamil benar-benar membantu saya menjaga kesehatan dan memenuhi kebutuhan gizi agar janin juga tumbuh dengan baik. Karena manfaat yang saya rasakan begitu banyak maka saya selalu merekomendasikan majalah ini pada teman atau saudara yang tengah hamil.


Beberapa seri Ayahbunda
yang saya miliki
Seri Ayahbunda lainnya yang jadi peganganku selama merawat dan membesarkan Raras ialah Balita dan Masalah Perkembangannya, Balita Sehat, dan Makanan Sehat Lezat untuk Bayi dan Balita. Seri Ayahbunda ini pun siap menemani saat anak keduaku, Rahima Putri Wilaga (de Ima) lahir. Sayang sekali kehadirannya hanya sebentar, de Ima meninggal setelah lima hari menemani kami. Namun, majalah yang cukup lama tersimpan di antara tumpukan buku di perpustakaan rumah itu kembali di buka karena anakku yang ketiga, Rayyanova Putri Wilaga (de Nino), baru tiga bulan ini hadir memeriahkan suasana rumah. Ternyata artikel dalam seri Ayahbunda tersebut masih relevan dan sangat membantuku memantau perkembangan si kecil.

Website Ayahbunda pun sangat komplit dan menarik. Berbagai artikel, tools, informasi kegiatan, komunitas, waaahhh....seruuuuu pokoknya. Saya bisa buka beberapa tab sekaligus agar semakin banyak informasi yang di dapat. Bahkan saya berlangganan newsletter juga supaya tetap bisa mendapat info bermanfaat saat cek e-mail. Yang menarik dari web Ayahbunda ini ialah selain memberikan informasi mengenai seputar keluarga dan tumbuh kembang anak juga adanya tools yang membuat pengguna web semakin interaktif. Beberapa ebook, chart, atau gambar saya unduh dan print out untuk digunakan sebagai pegangan.

Salah satu ebook yang saya print out
Si kecil ikut merasakan manfaatnya

Ayahbunda juga sering mengadakan kegiatan tatap muka secara langsung. beberapa kali saya mengikuti kegiatan kopdarnya yaitu mengenai Passion bersama Rene Suhardono dan Pro Kontra Imunisasi. Kopdar bersama Ayahbunda merupakan pengalaman yang mengasyikkan dan penuh manfaat. Asyik karena ternyata yang dibahas tidak melulu masalah anak dan keluarga. Saat kopdar yang membicarakan passion, dibahas mengenai hasrat kita sebagai individu. Benar-benar menumbuhkan semangatku kembali untuk menata dan meraih cita-cita yang sempat tersimpan rapi sejak berkeluarga dan memiliki anak. Sedangkan kopdar mengenai pro kontra Imunisasi membuka dan menambah wawasan saya yang sempat khawatir dengan pemberian imunisasi pada anak. Dan yang semakin membuatku riang adalah goodie bag. Isinya bisa bermacam-macam: majalah, mug, biskuit, taplak meja, dll.

Saat Kopdar mengenai Passion dengan dresscode merah di Plaza Indonesia
(Saya sedang mengajukan pertanyaan :p)
Mengenai tumbuh kembang anak ternyata cukup kompleks. Selain seputar gizi juga mengenai perkembangan emosinya. seperti yang baru-baru ini saya hadapi yaitu perasaan cemburu kakak terhadap adik barunya. Meskipun sudah berusaha diantisipasi agar perasaan jealous tersebut tidak muncul ternyata dialami juga oleh anak sulungku. Beberapa tips dalam website Ayahbunda berikut cukup membantu mengatasi masalah tersebut. Terimakasih Ayahbunda!



Gambar Raras saat cemburu pada adiknya: menunjukkan Ibu, Bapak,
dan Raras tengah tersenyum sedangkan adiknya berwajah sedih
Kakak Raras mengajak ngobrol adiknya

12 Oktober 2012

Celoteh Raras (1)


Sebulan setelah dek Ima meninggal, saya ajak Raras mengunjungi makamnya. Raras tertegun, mungkin masih belum mengerti. Sepertinya masih terlalu dini memperkenalkan Raras dengan hal-hal eskatologis. Tetapi ini bisa menjadi pintu masuknya, perlahan-lahan Raras harus belajar memahami apa yang sebenarnya terjadi dengan adiknya.
Pada awalnya saya selalu mengalihkan pembicaraan jika Raras bertanya tentang dek Ima. Kemana dek Ima? Meninggal itu apa? Makam itu dimana? Aku pengen ketemu dek Ima, aku pengen main sama adikku. Ibu kan hamil terus melahirkan, sekarang bayinya mana? dan seterusnya.
“ini makam dek Ima. Coba Raras baca tulisan di batu itu,” pintaku pada Raras yang masih berdiri.
“Ra...hi...ma... Rahima!” Raras diam. Sepertinya dia sedang memikirkan sesuatu, “Terus, dek Imanya dimana?”
“Dek Ima ada di surga,” jawabku sambil menunjuk ke atas.
Raras mendongak ke atas, “di surga...” katanya pelan.
“Yuk, kita do’ain dek Ima.” Kemudian kami membaca surat Al-Fatihah bersama-sama.


Sejak itu, Raras sering semakin sering bertanya atau berkomentar:
“Kenapa dek Ima di makam? Kasian dek Ima sendirian disana, di dalam tanah kan ada ular, cacing, cucurut, binatang-binatang, serangga, ibuuuu....kasian dek Ima...”
Hatiku serasa diaduk-aduk mendengar pertanyaan dan melihat wajah sedih Raras yang berusaha memahami sesuatu yang sangat abstrak. “Raras, dek Ima itu sakit, terus meninggal, kalo orang meninggal harus dimakamkan. Jasadnya di dalam tanah, tapi jiwanya berada di surga.”
“Ibu, aku mau ke surga, aku mau ketemu dek Ima!”
Saya cuma bisa menelan ludah yang terasa sakit ditenggorokan, ah...kamu belum mengerti, Nak.
Semakin sering dia bertanya, maka semakin sering saya ajak ke makam. Setiap kali Raras bertanya, jawabanku pun selalu sama supaya Raras tidak semakin bingung.
Suatu hari, Raras memperlihatkan sebuah gambar, “Bu, ini gambar makam dek Ima, dan ini peri yang menjaga makam dek Ima, menemani dek Ima.”
Hatiku terharu melihat anakku yang sangat sayang sama adiknya.

Gambar peri yang menjaga makam dek Ima
***
Enam bulan setelah melahirkan dek Ima, saya dinyatakan positif hamil lagi. Tentu saja itu kabar gembira buat Raras.
“Horeee....aku akan punya adik lagi...!” teriaknya girang sambil memegang perutku. “Ibu, adikku yang ini tidak sakit, kan? Tidak meninggal, kan?”
“InsyaAlloh sehat. Yuk, kita do’ain adek bayinya sehat, jadi anak yang sholeh, cerdas, lucu, dan bahagia di dunia, juga selamat di akhirat.”
***
Pada kesempatan lain, Raras menghampiri dengan muka sedih, “ibu, aku tidak mau tumbuh dewasa.”
“Lho, kenapa?” tanyaku heran.
“Kalau aku dewasa nanti ibu menjadi tua, kalau ibu tua nanti meninggal seperti dek Ima. Aku tidak mau ibu meninggal...!”
Ealaaahhh...Nak...nak.... celotehmu membuat hati ibu tersenyum sekaligus terisak.
***

07 Oktober 2012

Ketika Kakak Cemburu Pada Adik


Seperti biasa, saya memandikan Raras pagi hari sebelum berangkat sekolah. Saya bersihkan badannya sambil ngobrol hal-hal sederhana. Terkadang untuk memancing rahasia yang dipendamnya pun saya lakukan saat mandi pagi. Misalnya saat Raras berselisih dengan temannya di sekolah, kegiatan apa saja yang dilakukan di rumah saat saya kuliah, atau alasan dia ngambek sepulang sekolah kemarin. Biasanya Raras menjawab dengan ringan dan lugu. Mungkin karena guyuran air yang segar sehingga interaksi kami lebih rileks.
Namun, ada yang sedikit mengagetkan saat mandi pagi tadi. Raras bilang, “ibu, anak ibu satu aja,” katanya dengan nada manja.
“Lho, kan anak ibu ada dua ditambah satu, yaitu Raras, dek Ima (alm), dan dek Nino” begitu jawabanku.
“aah... enggak, anak ibu satu yaitu Raras,” katanya sambil tertawa renyah. Aku tersenyum, mulai memahami perasaan anakku yang paling besar, dia Jealous pada saudara kandungnya yang masih berusia tiga bulan.
Akhir-akhir ini, Raras memang terlihat sering menatapku lekat saat sedang mengajak ngobrol si kecil yang diselingi pelukan dan kecupan. Raras menghampiri dan kemudian memegang tanganku, “anak ibu ada dua,” katanya perlahan. “Iyya, anak ibu dua ditambah satu,” jawabku sambil memeluk ke dua anak itu.
Di usia Raras yang masih belia (6 tahun), rasa cemburu pada adik sangat mungkin terjadi bahkan saat sang adik masih berada dalam kandungan. Namun, saya tidak melihat kecemburuan itu pada diri Raras. Dia suka mencium dan membelai, bahkan membacakan buku cerita pada adiknya. Raras sangat ingin punya adik. Sejak dek Ima meninggal dan saya hamil lagi, sepertinya Raras tidak sabar ingin punya adik. Dia selalu bilang akan mengajak adiknya main boneka dan main bola kalau sudah lahir nanti.
Sore harinya Raras menolak menemani Dek Nino ketika saya akan wudlu dan sholat Ashar. Dia malah menghentakan kaki dan bicara dengan setengah berteriak, “Aku tidak mau diganggu! Ibu sudah mengacaukan permainanku! Aku tidak punya teman di rumah ini!”
Aku tertegun, dan teringat kembali dengan kata-katanya saat mandi pagi. Kubiarkan emosinya keluar terlebih dahulu. Setelah itu, Raras menuju kamarnya, berbaring di tempat tidur dan memeluk guling sambil menghadap tembok.
Setelah Raras kelihatannya agak tenang, saya masuk ke kamarnya, ikut berbaring di tempat tidur sambil memeluk punggungnya. Setelah beberapa menit memeluknya, saya angkat bicara setengah berbisik di telinganya, “Kakak sayang, makasih ya sudah bantu ibu, menjadi anak yang mandiri, makan sendiri, gosok gigi sendiri, bikin susu sendiri, senang belajar, waaahhh hebat deh anak ibu... Makasih ya sayang,” kataku sambil mengecup rambutnya. Raras masih diam dengan mata terpejam, pura-pura tidur.
Kembali saya berbisik, “Kakak Raras, boleh ibu minta maaf? Mungkin ibu pernah salah, menyuruh saat Kakak sedang sibuk main.” Raras masih diam. “ibu dimaafkan, tidak?” tanyaku mengharapkan jawaban.
“Iyya...” jawabnya pelan sambil menganggukkan kepalanya. Kemudian Raras membalikkan badannya, memelukku erat, “ibu, aku sayang ibu...” kemudian diam lagi, “aku juga sayang Bapak dan dek Nino.”
Aku terharu. Dalam hatiku berkecamuk berbagai rasa, namun sesuatu yang terasa berat di dada berangsur hilang. Sudah lama tidak memeluk Raras seperti ini, mungkin sejak melahirkan si Kecil. Pantas saja dia cemburu. Maafkan ibu, Nak....
Sehari setelah dek Nino lahir



The Hardest Day of My Life


“Dan bersabarlah dalam menunggu ketetapan Tuhan-mu, maka sesungguhnya kamu berada dalam penglihatan Kami, dan bertasbihlah dengan memuji Tuhan-mu ketika kamu bangun berdiri” (QS. 52:48)
Satu-satunya foto bersama dek Ima
Apa kabar bayi mungilku? Ibu rindu padamu. Teramat rindu. Ingin memelukmu, menimang dan menciummu, dengan penuh kasih, penuh sayang. Tak terasa setahun sudah ibu melewati hari-hari dengan mengenangmu dalam hati, memeluk baju mungilmu yang lembut dan menatap wajahmu di foto.
***
Bayi mungil itu kami beri nama Rahima. Diambil dari salah satu sifat Allah SWT, Ar-Rahim yang artinya “Maha Penyayang.” Dalam Bahasa Indonesia kata itu digunakan untuk menyebut tempat janin selama berada dalam kandungan, yaitu “rahim,” menunjukkan tempat yang kokoh dan penuh kehangatan. Semoga bayi mungilku menjadi anak yang kuat, penuh kehangatan dan terutama senantiasa disayang oleh Alloh SWT.
Kelahirannya tanpa tangis, aku sudah mengetahui sebabnya. Seperti kebanyakan naluri seorang ibu, aku pun ingin memeluk dan meletakkan bayi yang baru lahir di dada dekat dengan jantungku. Namun, aku hanya bisa melihatnya dari kejauhan. Selang oksigen langsung dipasang beberapa saat setelah badannya dibersihkan. Bahagia dan bangga pada bayiku, telah berjuang lahir dengan proses normal dan lancar, padahal posisi lahirnya sungsang. Alhamdulillah, puji syukurku tak terhingga pada Tuhan Yang Maha Esa.
***
Hujan deras mengiringi malam. Ingin sekali menembus rintiknya berlari menemuimu. Sekedar menenangkan dirimu dari petir yang bersahutan, “tenang, Nak...ada ibu disini...” Tangisku berderai dalam diam. Hatiku sesak mengingat bayi mungilku sendirian dalam kotak inkubator, kesepian, dengan sakit yang tak mampu dia ceritakan. Bahkan tangisannya pun hanya berupa rintihan perlahan. Anakku nafasmu tersengal, dadamu naik turun. Siapapun yang melihat takkan sanggup menatap tubuh mungilmu yang berjuang untuk hidup. Rasanya ingin sekali menggantikan sakitmu, andai saja ibu bisa.
Esok pagi, bergegas aku menuju rumah sakit tempatmu berada. Ingin segera menemuimu, membelaimu melalui dua buah lubang di kotak inkubator. Hatiku sesak oleh cinta, cinta seorang ibu pada buah hatinya. Cinta ini mengalir melalui jemari tanganku, bergetar menelusuri pipi hingga telapak tangan yang dengan tiba-tiba menggenggam telunjukku dengan erat. Hatiku melonjak gembira. Bayiku akan segera sehat, akan segera pulang ke rumah berkumpul bersama bapak dan kakak Raras.
Mata kecil itu menatapku. Aku terdiam menikmati bergulirnya waktu dengan saling menatap. Duhai...tak ada yang lebih mengesankan selain tatapan kasih sayang antara ibu dan anak. Senyap namun deras mengalir sarat makna. Kemudian, kulantunkan beberapa ayat suci Al-Qur’an. Bayi itu seolah tertegun mendengar suaraku, seakan mengenali jauh sebelumnya. Tentu saja, karena aku melakukannya sejak hamil, sejak bayiku masih berupa titik, yang kutahu dari dua garis yang muncul di alat tes kehamilan.
Tahukah kau, Nak. Sejak dokter mengatakan kondisimu yang sebenarnya, jalan-jalan ke mall itu tak lagi menarik, berkumpul bersama teman, mengobrol, dan makan-makan tak lagi terlihat mengasyikkan. Bahkan melepaskan kuliah dan melipat cita-cita pun akan kulakukan. Karena kini aku lebih bersemangat denganmu. Aku hanya ingin memelukmu, menemani hidupmu, melewati apapun bersama, dan menjadikan dirimu anak yang paling beruntung sepanjang masa.
***
Mungkin begini rasanya, ketika alam seperti bersimpati pada keadaan yang menimpaku. Suasana ramai, kendaraan lalu lalang di jalan raya, orang-orang hilir mudik di depanku. Tapi pepohonan itu seolah menunduk sedih, matahari bersinar sayu, angin berhembus pilu. Perlahan gerimis menyapa, semua menjadi abu-abu. Suara-suara di sekelilingku berisik, namun sampai ditelingaku berupa hening yang mencekam. Sayup-sayup hatiku berbisik, “the hardest day of my life.” Berulang-ulang kalimat itu muncul, lagi dan lagi.
Ya Alloh, anugerahkan yang terbaik untuk anakku. Jika umurnya panjang, hidupkan dalam kondisi sebaik-baiknya ciptaanmu. Namun jika tidak... aku ikhlas, ridho dengan ketentuan-Mu.
***
Aku tergopoh-gopoh ke rumah sakit sambil menuntun Raras. Berusaha kutenangkan hatiku, bahwa semuanya baik-baik saja. Kuhitung langkahku yang semakin terasa berat melewati ubin demi ubin, terasa jauh sekali, tak kunjung sampai jua. Kulewati pintu ruangan, mataku langsung tertuju pada kotak inkubator tempat bayi mungilku berada. Aku terkesiap, badannya ditutup kain. Rasanya runtuh semua isi bumi ini menimpaku....

Mengenang buah hatiku: Rahima Putri Wilaga (30 April 2011 – 5 Mei 2011)

03 Oktober 2012

Gara-gara Secangkir Kopi

Pukul sepuluh aku sampai di Bandara Internasional Balikpapan Sepinggan. Sebelumnya menggunakan pesawat kecil Pelita Air dari Bontang Kalimantan Timur bersama beberapa teman. Kemudian bersiap menuju Jakarta dengan Lion Air.
Diperjalanan aku membolak balik majalah dan buku do’a beberapa agama yang tersedia di balik kursi, tentu tidak boleh dibawa pulang. Seorang pramugari mendekat dengan roda minuman. Aku meminta kopi panas. Kopi nikmat yang wanginya membangunkan sel-sel syaraf di otak, yang kuharap bisa membuatku terjaga dan menikmati perjalanan di atas awan. Beberapa menit kemudian perutku terasa melilit-lilit. Aku mulai gusar. Rupanya kopi yang tadi kuminum berpengaruh juga pada pencernaanku. Wadduh... aku tak mau buang air besar di atas pesawat. Aku berusaha menahannya, namun perutku malah semakin mulas. Akhirnya aku menyerah dan bergegas ke kamar kecil. Dalam  toilet yang sempit itu aku hanya berdiri saja. Aku  ragu jika mesti buang air besar dengar air terbatas. Pesawat bergoyang, aku jadi teringat dengan kecelakaan pesawat Lion Air beberapa minggu yang lalu. “Ya Alloh, sekiranya saya akan mati, matikan aku dalam keadaan nyaman setelah mengeluarkan isi perut ini.” Pintu diketuk dari luar. Aku semakin bingung. Akhirnya aku hanya membasuh tangan dengan air hangat agar mulasnya berkurang.
Kepada para penumpang dimohon tidak melepas sabuk pengaman karena pesawat mengudara dalam cuaca buruk.” Aku duduk kembali dengan keringat dingin disekujur tubuh. “Ya Alloh…kuatkan aku….” batinku dalam hati. Tapi kali ini benar-benar tak bisa kutahan. Ups, aku kentut. Tak bersuara tapi beraroma pekat. Sayangnya bukan beraroma kopi.
"Siapa yang kentut?" bisik Ana, sahabatku yang duduk tepat disebelahku.
Aku menjawab dengan mataku sambil tersenyum malu. "Gara-gara kopi yang tadi kuminum, kayaknya," jawabku beralasan.
Alhamdulillah pesawat mendarat dengan selamat. Sesampainya di darat aku langsung bergegas menuju kamar kecil. Sepuas-puasnya duduk di “bilik merenung.” Setelah selesai aku keluar dengan perasaan lega. Namun beberapa saat kemudian aku kembali bingung. Teman-temanku sudah tidak ada, barang-barang bawaan juga tidak ada. Toilet dan sekitarnya sepi, lorong di depanku hening. Hanya ada satu dua orang petugas.
“Mbak! Sini Mbak!” Aku menoleh ke arah sumber suara dan menghampiri. “Mbak dari Madinah, kan? Taksinya sebelah sini.” Aku semakin bingung dikira TKW dari Madinah, “Maaf bukan, Pak,” jawabku dengan santun. Untunglah pulsa hanndphoneku masih mencukupi untuk menghubungi Kang Iwan, sang pimpinan rombongan

***.
Pantesan kurang satu.” Kata kang Iwan diiringi gelak tawa teman-teman saat aku muncul dihadapan mereka yang tengah duduk bergerombol menanti bis untuk melanjutkan perjalanan ke Bandung. Aku hanya tersenyum kesal bercampur senang. Aiiihhh.... gara-gara kopi!


(Perjalanan tak terlupakan bersama teman-teman MQ di Bontang Kaltim, tahun 2004)

Bandar Djakarta, Sea Food Sea Side


Suami Cuma bilang akan berbuka puasa di restoran sea food di Ancol. Waaaw... pasti seru makan-makan enak di pinggir pantai. Teringat dulu pernah makan kepiting sepuasnya di suatu restoran di pantai Kalimantan Timur. Bukan cuma kepitingnya saja yang enak tapi suasananya juga mendukung.
Di Bandar Djakarta, makanan yang terhidang bermacam-macam. Udang, cumi, lobster, ikan, beberapa menu sayuran, dan lain-lain.  Disinilah pertama kali saya makan kerang bambu, makanan yang pernah saya lihat di salah satu channel TV berbayar. Rasanya enyaaakkk sekali, untuk menunjukkan rasa enak yang kenyal heheheh.... Disini pula pertama kali saya makan kepiting alaska. Tentu saja rasanya maknyusss sesuai dengan haganya yang hmmm...glek... hahahha....
Alhamdulillah kenyang, sangat kenyang malah. Suasananya benar-benar asyik banget, deh. Angin pantai, gelombang ombak, kelap-kelip lampu, dan hilir mudik perahu. Puas rasanya.

dihalamanbelakang.blogspot.com
Wajah-wajah kekenyangan :)

Mengenal Minat Raras di Kidzania




Sudah sejak lama ingin ngajak Raras ke Kidzania. Namun selain waktu yang susah sinkron dengan suami, konon permainan di Kidzania kurang cocok untuk anak balita. Sehingga, walaupun hasrat hati seorang ibu ingin memberi banyak pengalaman buat anak menggebu-gebu, selalu kutahan opsi ke tempat bermain ini. Rasanya akan mubadzir kalau anaknya sendiri secara mental belum siap. Ada saat yang tepat untuk memberikan stimulasi pada anak.
Saat yang dinanti itu tiba. Raras berusia belum genap enam tahun, rasanya sudah cocok memberinya pengalaman baru. Kebetulan ada voucher diskon ke Kidzania bagi pelanggan salah satu TV berbayar. Berangkatlah kami bertiga ke Pasific Place, tempat arena bermain itu berada.
Berdasarkan informasi yang didapat dari internet, ada banyak permainan yang disediakan. Saya bersemangat untuk mengajak Raras menjadi pemadam kebakaran, polisi, dokter, dan permainan lain yang kuanggap sangat seru dilakukan oleh anak-anak. Ternyata oh ternyata, Raras menolak mentah-mentah. Saking semangatnya saya lupa kalo anakku ini emang pemanasannya harus pelan-pelan. Akhirnya, kubawa berkeliling dahulu sampai naik ke lantai dua. Saya berusaha menahan diri tidak memaksakan minatku pada Raras. Biarlah Raras memilih sendiri area yang ingin dimasukinya. Dan sudah saya duga dia akan menunjukkan minat di area cooking.
Raras asyik sekali mengikuti kegiatan di tempat membuat wafer, lengkap dengan mengenakan celemek dan topi koki. Bahan-bahannya sudah siap, hanya tinggal disusun menjadi wafer. Wafer hasil buatannya kemudian dikemas dan dibawa pulang. Bangga sekali kelihatannya, apalagi setelah melakukan kegiatan, Raras diberi “gaji” uang Kidzos, mata uang yang berlaku di Kidzania. Selain membuat wafer, Raras juga membuat cokelat di area tersebut

Raras tengah membuat cokelat



Yang membuat saya agak terkejut, ternyata Raras ingin membuat baju boneka. Kegiatan jahit menjahit merupakan dunia yang sangat dekat denganku, tapi belum aku kenalkan lebih jauh pada Raras. Lagi pula sejak tinggal di Bogor, mesin jahit portable-ku lebih sering teronggok di pojok rumah. Tak pernah terpikir Raras akan menyukai menjahit. Untuk kegiatan ini tidak diberi gaji, malah Raras yang dikenai biaya. Semacam biaya kursus singkat.
Setelah puas berkeliling di lantai dua, kami kembali turun ke bawah. Saya masih berharap Raras mau bermain permainan yang lebih “hot”. Supaya dia bisa memilih permainannya, saya sarankan dia naik bis yang mengelilingi arena Kidzania. Permainan yang dipilih Raras, membuatku cukup terkejut. Dia rela antri lama di depan pintu belajar modelling. “Raras yakin mau belajar modelling? Itu kan nanti berjalan di panggung itu,” jelasku sambil menunjuk catwalk. “Iyya ibu.... aku mau permainan ini!” jawabnya dengan tegas. Ya sudahlah kubiarkan dia masuk. Saya melihat dari luar. Anak-anak diajari cara berjalan dan bergaya, kemudian wajahnya didandani dan mengenakan bando yang serasi dengan warna pakaian. Tiba giliran Raras berjalan di catwalk. Dia berusaha bergaya sesuai dengan yang diajarkan. Saya dan suami tersenyum bangga melihat Raras yang berani tampil seperti itu. Sungguh ibu tak mengira, Nak.
Keterkejutanku tidak sampai disitu. Ternyata Raras mengiyakan ketika ditawari menjadi pegawai pom bensin. Saya tertawa bangga ketika Raras menceritakan bagaimana cara menyapa konsumen yang akan membeli bensin. “Selamat malam, dimulai dari angka nol, ya.” Sungguh tak kukira pengalaman bermain di sini, membuatku semakin mengenal minat dan hasrat Raras.