Republik Rakyat Cina (RRC)
yang juga disebut Republik Rakyat Tiongkok (RRT) adalah sebuah negara komunis yang terdiri dari hampir seluruh wilayah
kebudayaan, sejarah, dan geografis yang dikenal sebagai Cina dengan
penduduk terbanyak di dunia. Populasinya melebihi 1,3 miliar jiwa yang mayoritas
bersuku bangsa Han. Hampir 59% penduduknya (lebih kurang 767
juta orang) menjadi Ateis atau tidak percaya Tuhan. Namun lebih kurang
33% dari mereka percaya kepada kepercayaan tradisi atau gabungan kepercayaan Buddha dan Taoisme. Selain itu ada juga penganut agama Islam dan Kristen di negara ini. Kebijakan pemerintah yang membatasi
keluarga di perkotaan (kecuali etnis minoritas seperti Tibet) memiliki satu anak dan keluarga di pedalaman dua anak jika anak
yang pertamanya wanita membuat jumlah perbandingan antara laki-laki dan
perempuan tidak seimbang. Berbagai latar belakang inilah yang mempengaruhi gaya
pengasuhan orangtua terhadap anaknya di negara Cina.
Penelitian empiris mengenai gaya pengasuhan di Cina
dalam Liu
dan Guo (2010) menunjukkan hasil yang beragam. Sebagai
contoh penelitian yang ditemukan bahwa meskipun orang tua di Cina memberikan
kontrol yang lebih dan otoriter dibandingkan dengan orang tua di Amerika Utara,
prestasi akademik anak-anak Cina sama baiknya atau bahkan lebih baik daripada
anak-anak dari Amerika utara (Dornbusch et al. 1987; Stevenson, Lee, Chen, Stigler, Hsu & Kitamura,
1990). Dengan demikian, beberapa peneliti
berpendapat bahwa strategi kontrol dan otoriter
mungkin memiliki nilai positif dalam masyarakat Cina, hal ini dikaitkan dengan
hasil yang adaptif pada anak-anak Cina (Chiu,
1987; Ekblad, 1988). Sebaliknya, Chen dan
rekan-rekannya berpendapat bahwa, terlepas dari perbedaan lintas-budaya antara orang tua Cina dan Barat berada di tingkat
rata-rata terutama authoritativeness and
authoritarianism,
makna adaptational gaya pengasuhan dalam budaya Cina ini mirip dengan
yang biasanya ditemukan di Barat. Secara
khusus gaya pengasuhan authoritarian berhubungan positif dengan agresi dan
penerimaan negatif pada teman sebaya, kompetensi sosial, dan pencapaian
prestasi akademik di sekolah. Sebaliknya orang tua dengan gaya pengasuhan
authoritative ditemukan
berhubungan positif dengan indeks sosial dan penyesuaian di sekolah serta
berhubungan negatif dengan masalah penyesuaian (Chen, Dong & Zhou, 1997).
Salah satu
contoh gaya pengasuhan dari budaya Cina dapat dilihat dari sebuah buku yang berjudul “Battle Hymn of the Tiger Mother” Karya Amy Chua yang kini merupakan
best seller. Dalam memoarnya, ibu dari Sophia (18 tahun) dan Louisa (14
tahun) itu menceritakan kesuksesan serta kesalahan yang dibuatnya dalam
mengasuh anak dengan gaya tradisional Cina. Gaya pengasuhan authoritarian yang
diterapkan oleh Amy Chua membuat jemari si sulung, Sophia, di usia 14 tahun
sudah mahir memainkan piano. Sedangkan, adiknya, Louisa memainkan biola tanpa
sedikitpun nada sumbang. Selain itu, keduanya juga tampil sebagai jagoan
akademik, sesuai dengan tuntutan ibunya untuk meraih nilai sempurna di semua
mata pelajaran, kecuali olah raga dan drama. Masing-masing juga harus rutin
berlatih alat musik yang dipilihkan Amy Chua. Selain itu, ibu yang menikah
dengan pria Yahudi itu mengekang kedua putrinya dari kehidupan sosial. Mereka
tak memiliki pengalaman menginap di rumah teman, pergi pesta, atau ikut
pementasan drama. Seorang psikolog, A. Kasandra Putranto berkomentar mengenai
hal ini dalam republika.co.id bahwa, “Dengan didikan seperti itu, generasi muda
Cina memang banyak yang sukses namun emosinya datar,” hal ini disebabkan
anak-anak Cina telah diperkenalkan pada falsafah hidup sejak kecil, mereka akan
berusaha untuk tidak mempermalukan keluarga.
Contoh lain gaya pengasuhan budaya Cina bisa
dilihat dalam sebuah rekaman video di situs youtube yang menampilkan seorang
anak berusia 4 tahun dipaksa berlari di tengah salju dengan
hanya memakai celana dalam dan sepatu kets. Sedangkan sang ayah yang bernama He
(44), sibuk merekam dan terus menyuruh anaknya untuk berlari di tengah salju di
New York, AS. Saat itu suhu udara di sana mencapai minus 13 derajat Celcius. Sang ayah bersikukuh bahwa hal itu membuahkan
hasil positif, terutama bagi kesehatan putranya, Duo Duo, yang lahir prematur
dan menderita beragam masalah kesehatan. Sekarang ini, Duo Duo dalam kondisi
sangat sehat dan tidak pernah kembali ke rumah sakit. Tidak hanya itu, IQ anak
tersebut kini sudah mencapai level jenius, yakni dengan poin 218. Hal ini
membuat Duo Duo yang baru berumur 4 tahun, bisa melompati TK dan langsung masuk
ke SD. He menyebut gaya pengasuhannya sebagai pola pengasuhan 'ayah elang'.
Seekor elang muda belajar terbang ketika ibu mereka memaksa
dan menjatuhkan mereka dari sarang mereka yang ada di tebing. Anak elang
tersebut kemudian belajar untuk bertahan hidup melalui tes-tes yang keras (Disarikan dari Detiknews.com).
Jelaslah, bahwa gaya pengasuhan sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya yang telah terinternalisasi dalam diri orangtua. Dalam budaya Cina,
anak-anak tidak dibiasakan tergantung pada orang lain dan selalu berusaha
meningkatkan kompetensi diri. Apalagi dengan kebijakan pemerintah Cina yang
memberlakukan aturan hanya memiliki satu anak dalam satu keluarga khususnya di
perkotaan, membuat setiap keluarga berusaha untuk membimbing dan membesarkan
anak dengan sebaik-baiknya dengan melakukan berbagai cara agar menjadi penerus
keturunan yang sukses. Sehingga gaya pengasuhan yang cenderung otoriter dengan tetap menunjukkan rasa cinta, dinilai cocok untuk konteks ini. Setiap
gaya pengasuhan memiliki aspek positif dan negatif. Perkembangan zaman yang
semakin global dengan arus informasi yang semakin cepat bisa dijadikan bahan
pengetahuan bagi setiap orangtua untuk menerapkan gaya pengasuhan yang lebih
tepat sesuai dengan kondisi kontekstual dan
kepribadian anak.
0 komentar:
Posting Komentar