01 November 2012

Gaya Pengasuhan Orangtua di Negara Cina

Republik Rakyat Cina (RRC) yang  juga disebut Republik Rakyat Tiongkok (RRT) adalah sebuah negara komunis yang terdiri dari hampir seluruh wilayah kebudayaan, sejarah, dan geografis yang dikenal sebagai Cina dengan penduduk terbanyak di dunia. Populasinya melebihi 1,3 miliar jiwa yang mayoritas bersuku bangsa Han. Hampir 59% penduduknya (lebih kurang 767 juta orang) menjadi Ateis atau tidak percaya Tuhan. Namun lebih kurang 33% dari mereka percaya kepada kepercayaan tradisi atau gabungan kepercayaan Buddha dan Taoisme. Selain itu ada juga penganut agama Islam dan Kristen di negara ini. Kebijakan pemerintah yang membatasi keluarga di perkotaan (kecuali etnis minoritas seperti Tibet) memiliki satu anak dan keluarga di pedalaman dua anak jika anak yang pertamanya wanita membuat jumlah perbandingan antara laki-laki dan perempuan tidak seimbang. Berbagai latar belakang inilah yang mempengaruhi gaya pengasuhan orangtua terhadap anaknya di negara Cina.

Penelitian empiris mengenai gaya pengasuhan di Cina dalam Liu dan Guo (2010) menunjukkan hasil yang beragam. Sebagai contoh penelitian yang ditemukan bahwa meskipun orang tua di Cina memberikan kontrol yang lebih dan otoriter dibandingkan dengan orang tua di Amerika Utara, prestasi akademik anak-anak Cina sama baiknya atau bahkan lebih baik daripada anak-anak dari Amerika utara (Dornbusch et al. 1987; Stevenson, Lee, Chen, Stigler, Hsu & Kitamura, 1990). Dengan demikian, beberapa peneliti berpendapat bahwa strategi kontrol dan otoriter mungkin memiliki nilai positif dalam masyarakat Cina, hal ini dikaitkan dengan hasil yang adaptif pada anak-anak Cina (Chiu, 1987; Ekblad, 1988). Sebaliknya, Chen dan rekan-rekannya berpendapat bahwa, terlepas dari perbedaan lintas-budaya antara orang tua Cina dan Barat berada di tingkat rata-rata terutama authoritativeness and authoritarianism, makna adaptational gaya pengasuhan dalam budaya Cina ini mirip dengan yang biasanya ditemukan di Barat. Secara khusus gaya pengasuhan authoritarian berhubungan positif dengan agresi dan penerimaan negatif pada teman sebaya, kompetensi sosial, dan pencapaian prestasi akademik di sekolah. Sebaliknya orang tua dengan gaya pengasuhan authoritative ditemukan berhubungan positif dengan indeks sosial dan penyesuaian di sekolah serta berhubungan negatif dengan masalah penyesuaian (Chen, Dong & Zhou, 1997). 

Salah satu contoh gaya pengasuhan dari budaya Cina dapat dilihat dari sebuah buku  yang berjudulBattle Hymn of the Tiger Mother” Karya Amy Chua yang kini merupakan best seller. Dalam memoarnya, ibu dari Sophia (18 tahun) dan Louisa (14 tahun) itu menceritakan kesuksesan serta kesalahan yang dibuatnya dalam mengasuh anak dengan gaya tradisional Cina. Gaya pengasuhan authoritarian yang diterapkan oleh Amy Chua membuat jemari si sulung, Sophia, di usia 14 tahun sudah mahir memainkan piano. Sedangkan, adiknya, Louisa memainkan biola tanpa sedikitpun nada sumbang. Selain itu, keduanya juga tampil sebagai jagoan akademik, sesuai dengan tuntutan ibunya untuk meraih nilai sempurna di semua mata pelajaran, kecuali olah raga dan drama. Masing-masing juga harus rutin berlatih alat musik yang dipilihkan Amy Chua. Selain itu, ibu yang menikah dengan pria Yahudi itu mengekang kedua putrinya dari kehidupan sosial. Mereka tak memiliki pengalaman menginap di rumah teman, pergi pesta, atau ikut pementasan drama. Seorang psikolog, A. Kasandra Putranto berkomentar mengenai hal ini dalam republika.co.id bahwa, “Dengan didikan seperti itu, generasi muda Cina memang banyak yang sukses namun emosinya datar,” hal ini disebabkan anak-anak Cina telah diperkenalkan pada falsafah hidup sejak kecil, mereka akan berusaha untuk tidak mempermalukan keluarga.

Contoh lain gaya pengasuhan budaya Cina bisa dilihat dalam sebuah rekaman video di situs youtube yang menampilkan seorang anak berusia 4 tahun dipaksa berlari di tengah salju dengan hanya memakai celana dalam dan sepatu kets. Sedangkan sang ayah yang bernama He (44), sibuk merekam dan terus menyuruh anaknya untuk berlari di tengah salju di New York, AS. Saat itu suhu udara di sana mencapai minus 13 derajat Celcius. Sang ayah bersikukuh bahwa hal itu membuahkan hasil positif, terutama bagi kesehatan putranya, Duo Duo, yang lahir prematur dan menderita beragam masalah kesehatan. Sekarang ini, Duo Duo dalam kondisi sangat sehat dan tidak pernah kembali ke rumah sakit. Tidak hanya itu, IQ anak tersebut kini sudah mencapai level jenius, yakni dengan poin 218. Hal ini membuat Duo Duo yang baru berumur 4 tahun, bisa melompati TK dan langsung masuk ke SD. He menyebut gaya pengasuhannya sebagai pola pengasuhan 'ayah elang'. Seekor elang muda belajar terbang ketika ibu mereka memaksa dan menjatuhkan mereka dari sarang mereka yang ada di tebing. Anak elang tersebut kemudian belajar untuk bertahan hidup melalui tes-tes yang keras (Disarikan dari Detiknews.com).

Jelaslah, bahwa gaya pengasuhan sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya yang telah terinternalisasi dalam diri orangtua. Dalam budaya Cina, anak-anak tidak dibiasakan tergantung pada orang lain dan selalu berusaha meningkatkan kompetensi diri. Apalagi dengan kebijakan pemerintah Cina yang memberlakukan aturan hanya memiliki satu anak dalam satu keluarga khususnya di perkotaan, membuat setiap keluarga berusaha untuk membimbing dan membesarkan anak dengan sebaik-baiknya dengan melakukan berbagai cara agar menjadi penerus keturunan yang sukses. Sehingga gaya pengasuhan yang cenderung otoriter dengan tetap menunjukkan rasa cinta, dinilai cocok untuk konteks ini. Setiap gaya pengasuhan memiliki aspek positif dan negatif. Perkembangan zaman yang semakin global dengan arus informasi yang semakin cepat bisa dijadikan bahan pengetahuan bagi setiap orangtua untuk menerapkan gaya pengasuhan yang lebih tepat sesuai dengan kondisi kontekstual dan  kepribadian anak.


0 komentar: