Pukul sepuluh aku sampai di Bandara Internasional
Balikpapan Sepinggan. Sebelumnya menggunakan pesawat kecil Pelita Air dari
Bontang Kalimantan Timur bersama beberapa teman. Kemudian bersiap menuju
Jakarta dengan Lion Air.
Diperjalanan aku membolak balik majalah dan buku do’a
beberapa agama yang tersedia di balik kursi, tentu tidak boleh dibawa pulang.
Seorang pramugari mendekat dengan roda minuman. Aku meminta kopi panas. Kopi
nikmat yang wanginya membangunkan sel-sel syaraf di otak, yang kuharap bisa
membuatku terjaga dan menikmati perjalanan di atas awan. Beberapa menit
kemudian perutku terasa melilit-lilit. Aku mulai gusar. Rupanya kopi yang tadi kuminum berpengaruh juga pada pencernaanku. Wadduh... aku tak mau buang air besar di
atas pesawat. Aku berusaha menahannya, namun perutku malah semakin mulas.
Akhirnya aku menyerah dan bergegas ke kamar kecil. Dalam toilet yang sempit itu aku
hanya berdiri saja. Aku ragu jika mesti buang air besar dengar air
terbatas. Pesawat bergoyang, aku jadi teringat dengan kecelakaan pesawat Lion
Air beberapa minggu yang lalu. “Ya Alloh, sekiranya saya akan mati, matikan aku
dalam keadaan nyaman setelah mengeluarkan isi perut ini.” Pintu diketuk dari
luar. Aku semakin bingung. Akhirnya aku hanya membasuh tangan dengan air hangat
agar mulasnya berkurang.
“Kepada para penumpang dimohon tidak melepas sabuk
pengaman karena pesawat mengudara dalam cuaca buruk.” Aku duduk kembali
dengan keringat dingin disekujur tubuh. “Ya Alloh…kuatkan aku….” batinku dalam
hati. Tapi kali ini benar-benar tak bisa kutahan. Ups, aku kentut. Tak bersuara
tapi beraroma pekat. Sayangnya bukan beraroma kopi.
"Siapa yang kentut?" bisik Ana, sahabatku yang duduk tepat disebelahku.
Aku menjawab dengan mataku sambil tersenyum malu. "Gara-gara kopi yang tadi kuminum, kayaknya," jawabku beralasan.
Alhamdulillah pesawat mendarat dengan selamat.
Sesampainya di darat aku langsung bergegas menuju kamar kecil.
Sepuas-puasnya duduk di “bilik merenung.” Setelah selesai aku keluar dengan
perasaan lega. Namun beberapa saat kemudian aku kembali bingung. Teman-temanku
sudah tidak ada, barang-barang bawaan juga tidak ada. Toilet dan sekitarnya
sepi, lorong di depanku hening. Hanya ada satu dua orang petugas.
“Mbak! Sini Mbak!” Aku menoleh ke arah sumber suara
dan menghampiri. “Mbak dari Madinah, kan? Taksinya sebelah sini.” Aku semakin
bingung dikira TKW dari Madinah, “Maaf bukan, Pak,” jawabku dengan santun.
Untunglah pulsa hanndphoneku masih mencukupi untuk menghubungi Kang Iwan, sang pimpinan rombongan
***.
***.
“Pantesan kurang satu.” Kata kang Iwan diiringi gelak tawa teman-teman saat aku muncul dihadapan mereka yang tengah duduk bergerombol menanti
bis untuk melanjutkan perjalanan ke Bandung. Aku hanya tersenyum kesal bercampur senang. Aiiihhh.... gara-gara kopi!
(Perjalanan tak terlupakan bersama teman-teman MQ di Bontang Kaltim, tahun 2004)
0 komentar:
Posting Komentar