“Dan bersabarlah dalam menunggu ketetapan Tuhan-mu, maka sesungguhnya
kamu berada dalam penglihatan Kami, dan bertasbihlah dengan memuji Tuhan-mu
ketika kamu bangun berdiri” (QS. 52:48)
Satu-satunya foto bersama dek Ima |
Apa kabar bayi mungilku? Ibu rindu
padamu. Teramat rindu. Ingin memelukmu, menimang dan menciummu, dengan penuh
kasih, penuh sayang. Tak terasa setahun sudah ibu melewati hari-hari dengan
mengenangmu dalam hati, memeluk baju mungilmu yang lembut dan menatap wajahmu
di foto.
***
Bayi mungil itu kami beri nama Rahima.
Diambil dari salah satu sifat Allah SWT, Ar-Rahim yang artinya “Maha Penyayang.”
Dalam Bahasa Indonesia kata itu digunakan untuk menyebut tempat janin selama berada
dalam kandungan, yaitu “rahim,” menunjukkan tempat yang kokoh dan penuh
kehangatan. Semoga bayi mungilku menjadi anak yang kuat, penuh kehangatan dan
terutama senantiasa disayang oleh Alloh SWT.
Kelahirannya tanpa tangis, aku
sudah mengetahui sebabnya. Seperti kebanyakan naluri seorang ibu, aku pun ingin
memeluk dan meletakkan bayi yang baru lahir di dada dekat dengan jantungku. Namun,
aku hanya bisa melihatnya dari kejauhan. Selang oksigen langsung dipasang
beberapa saat setelah badannya dibersihkan. Bahagia dan bangga pada bayiku,
telah berjuang lahir dengan proses normal dan lancar, padahal posisi lahirnya
sungsang. Alhamdulillah, puji syukurku tak terhingga pada Tuhan Yang Maha Esa.
***
Hujan deras mengiringi malam. Ingin
sekali menembus rintiknya berlari menemuimu. Sekedar menenangkan dirimu dari
petir yang bersahutan, “tenang, Nak...ada
ibu disini...” Tangisku berderai dalam diam. Hatiku sesak mengingat bayi
mungilku sendirian dalam kotak inkubator, kesepian, dengan sakit yang tak mampu
dia ceritakan. Bahkan tangisannya pun hanya berupa rintihan perlahan. Anakku nafasmu
tersengal, dadamu naik turun. Siapapun yang melihat takkan sanggup menatap
tubuh mungilmu yang berjuang untuk hidup. Rasanya ingin sekali menggantikan
sakitmu, andai saja ibu bisa.
Esok pagi, bergegas aku menuju
rumah sakit tempatmu berada. Ingin segera menemuimu, membelaimu melalui dua
buah lubang di kotak inkubator. Hatiku sesak oleh cinta, cinta seorang ibu pada
buah hatinya. Cinta ini mengalir melalui jemari tanganku, bergetar menelusuri
pipi hingga telapak tangan yang dengan tiba-tiba menggenggam telunjukku dengan
erat. Hatiku melonjak gembira. Bayiku akan segera sehat, akan segera pulang ke
rumah berkumpul bersama bapak dan kakak Raras.
Mata kecil itu menatapku. Aku terdiam
menikmati bergulirnya waktu dengan saling menatap. Duhai...tak ada yang lebih
mengesankan selain tatapan kasih sayang antara ibu dan anak. Senyap namun deras
mengalir sarat makna. Kemudian, kulantunkan beberapa ayat suci Al-Qur’an. Bayi itu
seolah tertegun mendengar suaraku, seakan mengenali jauh sebelumnya. Tentu saja,
karena aku melakukannya sejak hamil, sejak bayiku masih berupa titik, yang
kutahu dari dua garis yang muncul di alat tes kehamilan.
Tahukah kau, Nak. Sejak dokter
mengatakan kondisimu yang sebenarnya, jalan-jalan ke mall itu tak lagi menarik,
berkumpul bersama teman, mengobrol, dan makan-makan tak lagi terlihat
mengasyikkan. Bahkan melepaskan kuliah dan melipat cita-cita pun akan kulakukan.
Karena kini aku lebih bersemangat denganmu. Aku hanya ingin memelukmu, menemani
hidupmu, melewati apapun bersama, dan menjadikan dirimu anak yang paling
beruntung sepanjang masa.
***
Mungkin begini rasanya, ketika
alam seperti bersimpati pada keadaan yang menimpaku. Suasana ramai, kendaraan
lalu lalang di jalan raya, orang-orang hilir mudik di depanku. Tapi pepohonan
itu seolah menunduk sedih, matahari bersinar sayu, angin berhembus pilu. Perlahan
gerimis menyapa, semua menjadi abu-abu. Suara-suara di sekelilingku berisik,
namun sampai ditelingaku berupa hening yang mencekam. Sayup-sayup hatiku
berbisik, “the hardest day of my life.” Berulang-ulang
kalimat itu muncul, lagi dan lagi.
Ya Alloh, anugerahkan yang terbaik untuk anakku. Jika umurnya panjang,
hidupkan dalam kondisi sebaik-baiknya ciptaanmu. Namun jika tidak... aku ikhlas,
ridho dengan ketentuan-Mu.
***
Aku tergopoh-gopoh ke rumah sakit
sambil menuntun Raras. Berusaha kutenangkan hatiku, bahwa semuanya baik-baik
saja. Kuhitung langkahku yang semakin terasa berat melewati ubin demi ubin,
terasa jauh sekali, tak kunjung sampai jua. Kulewati pintu ruangan, mataku
langsung tertuju pada kotak inkubator tempat bayi mungilku berada. Aku terkesiap,
badannya ditutup kain. Rasanya runtuh semua isi bumi ini menimpaku....
Mengenang buah hatiku: Rahima Putri Wilaga (30 April 2011
– 5 Mei 2011)
0 komentar:
Posting Komentar