07 Oktober 2012

The Hardest Day of My Life


“Dan bersabarlah dalam menunggu ketetapan Tuhan-mu, maka sesungguhnya kamu berada dalam penglihatan Kami, dan bertasbihlah dengan memuji Tuhan-mu ketika kamu bangun berdiri” (QS. 52:48)
Satu-satunya foto bersama dek Ima
Apa kabar bayi mungilku? Ibu rindu padamu. Teramat rindu. Ingin memelukmu, menimang dan menciummu, dengan penuh kasih, penuh sayang. Tak terasa setahun sudah ibu melewati hari-hari dengan mengenangmu dalam hati, memeluk baju mungilmu yang lembut dan menatap wajahmu di foto.
***
Bayi mungil itu kami beri nama Rahima. Diambil dari salah satu sifat Allah SWT, Ar-Rahim yang artinya “Maha Penyayang.” Dalam Bahasa Indonesia kata itu digunakan untuk menyebut tempat janin selama berada dalam kandungan, yaitu “rahim,” menunjukkan tempat yang kokoh dan penuh kehangatan. Semoga bayi mungilku menjadi anak yang kuat, penuh kehangatan dan terutama senantiasa disayang oleh Alloh SWT.
Kelahirannya tanpa tangis, aku sudah mengetahui sebabnya. Seperti kebanyakan naluri seorang ibu, aku pun ingin memeluk dan meletakkan bayi yang baru lahir di dada dekat dengan jantungku. Namun, aku hanya bisa melihatnya dari kejauhan. Selang oksigen langsung dipasang beberapa saat setelah badannya dibersihkan. Bahagia dan bangga pada bayiku, telah berjuang lahir dengan proses normal dan lancar, padahal posisi lahirnya sungsang. Alhamdulillah, puji syukurku tak terhingga pada Tuhan Yang Maha Esa.
***
Hujan deras mengiringi malam. Ingin sekali menembus rintiknya berlari menemuimu. Sekedar menenangkan dirimu dari petir yang bersahutan, “tenang, Nak...ada ibu disini...” Tangisku berderai dalam diam. Hatiku sesak mengingat bayi mungilku sendirian dalam kotak inkubator, kesepian, dengan sakit yang tak mampu dia ceritakan. Bahkan tangisannya pun hanya berupa rintihan perlahan. Anakku nafasmu tersengal, dadamu naik turun. Siapapun yang melihat takkan sanggup menatap tubuh mungilmu yang berjuang untuk hidup. Rasanya ingin sekali menggantikan sakitmu, andai saja ibu bisa.
Esok pagi, bergegas aku menuju rumah sakit tempatmu berada. Ingin segera menemuimu, membelaimu melalui dua buah lubang di kotak inkubator. Hatiku sesak oleh cinta, cinta seorang ibu pada buah hatinya. Cinta ini mengalir melalui jemari tanganku, bergetar menelusuri pipi hingga telapak tangan yang dengan tiba-tiba menggenggam telunjukku dengan erat. Hatiku melonjak gembira. Bayiku akan segera sehat, akan segera pulang ke rumah berkumpul bersama bapak dan kakak Raras.
Mata kecil itu menatapku. Aku terdiam menikmati bergulirnya waktu dengan saling menatap. Duhai...tak ada yang lebih mengesankan selain tatapan kasih sayang antara ibu dan anak. Senyap namun deras mengalir sarat makna. Kemudian, kulantunkan beberapa ayat suci Al-Qur’an. Bayi itu seolah tertegun mendengar suaraku, seakan mengenali jauh sebelumnya. Tentu saja, karena aku melakukannya sejak hamil, sejak bayiku masih berupa titik, yang kutahu dari dua garis yang muncul di alat tes kehamilan.
Tahukah kau, Nak. Sejak dokter mengatakan kondisimu yang sebenarnya, jalan-jalan ke mall itu tak lagi menarik, berkumpul bersama teman, mengobrol, dan makan-makan tak lagi terlihat mengasyikkan. Bahkan melepaskan kuliah dan melipat cita-cita pun akan kulakukan. Karena kini aku lebih bersemangat denganmu. Aku hanya ingin memelukmu, menemani hidupmu, melewati apapun bersama, dan menjadikan dirimu anak yang paling beruntung sepanjang masa.
***
Mungkin begini rasanya, ketika alam seperti bersimpati pada keadaan yang menimpaku. Suasana ramai, kendaraan lalu lalang di jalan raya, orang-orang hilir mudik di depanku. Tapi pepohonan itu seolah menunduk sedih, matahari bersinar sayu, angin berhembus pilu. Perlahan gerimis menyapa, semua menjadi abu-abu. Suara-suara di sekelilingku berisik, namun sampai ditelingaku berupa hening yang mencekam. Sayup-sayup hatiku berbisik, “the hardest day of my life.” Berulang-ulang kalimat itu muncul, lagi dan lagi.
Ya Alloh, anugerahkan yang terbaik untuk anakku. Jika umurnya panjang, hidupkan dalam kondisi sebaik-baiknya ciptaanmu. Namun jika tidak... aku ikhlas, ridho dengan ketentuan-Mu.
***
Aku tergopoh-gopoh ke rumah sakit sambil menuntun Raras. Berusaha kutenangkan hatiku, bahwa semuanya baik-baik saja. Kuhitung langkahku yang semakin terasa berat melewati ubin demi ubin, terasa jauh sekali, tak kunjung sampai jua. Kulewati pintu ruangan, mataku langsung tertuju pada kotak inkubator tempat bayi mungilku berada. Aku terkesiap, badannya ditutup kain. Rasanya runtuh semua isi bumi ini menimpaku....

Mengenang buah hatiku: Rahima Putri Wilaga (30 April 2011 – 5 Mei 2011)

0 komentar: