Seperti biasa,
saya memandikan Raras pagi hari sebelum berangkat sekolah. Saya bersihkan
badannya sambil ngobrol hal-hal sederhana. Terkadang untuk memancing rahasia
yang dipendamnya pun saya lakukan saat mandi pagi. Misalnya saat Raras
berselisih dengan temannya di sekolah, kegiatan apa saja yang dilakukan di
rumah saat saya kuliah, atau alasan dia ngambek sepulang sekolah kemarin.
Biasanya Raras menjawab dengan ringan dan lugu. Mungkin karena guyuran air yang
segar sehingga interaksi kami lebih rileks.
Namun, ada yang
sedikit mengagetkan saat mandi pagi tadi. Raras bilang, “ibu, anak ibu satu
aja,” katanya dengan nada manja.
“Lho, kan anak
ibu ada dua ditambah satu, yaitu Raras, dek Ima (alm), dan dek Nino” begitu
jawabanku.
“aah... enggak,
anak ibu satu yaitu Raras,” katanya sambil tertawa renyah. Aku tersenyum, mulai
memahami perasaan anakku yang paling besar, dia Jealous pada saudara kandungnya yang masih berusia tiga bulan.
Akhir-akhir
ini, Raras memang terlihat sering menatapku lekat saat sedang mengajak ngobrol
si kecil yang diselingi pelukan dan kecupan. Raras menghampiri dan kemudian
memegang tanganku, “anak ibu ada dua,” katanya perlahan. “Iyya, anak ibu dua
ditambah satu,” jawabku sambil memeluk ke dua anak itu.
Di usia Raras
yang masih belia (6 tahun), rasa cemburu pada adik sangat mungkin terjadi
bahkan saat sang adik masih berada dalam kandungan. Namun, saya tidak melihat
kecemburuan itu pada diri Raras. Dia suka mencium dan membelai, bahkan
membacakan buku cerita pada adiknya. Raras sangat ingin punya adik. Sejak dek
Ima meninggal dan saya hamil lagi, sepertinya Raras tidak sabar ingin punya
adik. Dia selalu bilang akan mengajak adiknya main boneka dan main bola kalau
sudah lahir nanti.
Sore harinya
Raras menolak menemani Dek Nino ketika saya akan wudlu dan sholat Ashar. Dia
malah menghentakan kaki dan bicara dengan setengah berteriak, “Aku tidak mau
diganggu! Ibu sudah mengacaukan permainanku! Aku tidak punya teman di rumah
ini!”
Aku tertegun,
dan teringat kembali dengan kata-katanya saat mandi pagi. Kubiarkan emosinya
keluar terlebih dahulu. Setelah itu, Raras menuju kamarnya, berbaring di tempat
tidur dan memeluk guling sambil menghadap tembok.
Setelah Raras kelihatannya
agak tenang, saya masuk ke kamarnya, ikut berbaring di tempat tidur sambil
memeluk punggungnya. Setelah beberapa menit memeluknya, saya angkat bicara
setengah berbisik di telinganya, “Kakak sayang, makasih ya sudah bantu ibu,
menjadi anak yang mandiri, makan sendiri, gosok gigi sendiri, bikin susu
sendiri, senang belajar, waaahhh hebat deh anak ibu... Makasih ya sayang,”
kataku sambil mengecup rambutnya. Raras masih diam dengan mata terpejam,
pura-pura tidur.
Kembali saya
berbisik, “Kakak Raras, boleh ibu minta maaf? Mungkin ibu pernah salah, menyuruh
saat Kakak sedang sibuk main.” Raras masih diam. “ibu dimaafkan, tidak?”
tanyaku mengharapkan jawaban.
“Iyya...”
jawabnya pelan sambil menganggukkan kepalanya. Kemudian Raras membalikkan
badannya, memelukku erat, “ibu, aku sayang ibu...” kemudian diam lagi, “aku
juga sayang Bapak dan dek Nino.”
Aku terharu. Dalam hatiku berkecamuk berbagai rasa,
namun sesuatu yang terasa berat di dada berangsur hilang. Sudah lama tidak
memeluk Raras seperti ini, mungkin sejak melahirkan si Kecil. Pantas saja dia
cemburu. Maafkan ibu, Nak....
Sehari setelah dek Nino lahir |
0 komentar:
Posting Komentar