07 Oktober 2012

Ketika Kakak Cemburu Pada Adik


Seperti biasa, saya memandikan Raras pagi hari sebelum berangkat sekolah. Saya bersihkan badannya sambil ngobrol hal-hal sederhana. Terkadang untuk memancing rahasia yang dipendamnya pun saya lakukan saat mandi pagi. Misalnya saat Raras berselisih dengan temannya di sekolah, kegiatan apa saja yang dilakukan di rumah saat saya kuliah, atau alasan dia ngambek sepulang sekolah kemarin. Biasanya Raras menjawab dengan ringan dan lugu. Mungkin karena guyuran air yang segar sehingga interaksi kami lebih rileks.
Namun, ada yang sedikit mengagetkan saat mandi pagi tadi. Raras bilang, “ibu, anak ibu satu aja,” katanya dengan nada manja.
“Lho, kan anak ibu ada dua ditambah satu, yaitu Raras, dek Ima (alm), dan dek Nino” begitu jawabanku.
“aah... enggak, anak ibu satu yaitu Raras,” katanya sambil tertawa renyah. Aku tersenyum, mulai memahami perasaan anakku yang paling besar, dia Jealous pada saudara kandungnya yang masih berusia tiga bulan.
Akhir-akhir ini, Raras memang terlihat sering menatapku lekat saat sedang mengajak ngobrol si kecil yang diselingi pelukan dan kecupan. Raras menghampiri dan kemudian memegang tanganku, “anak ibu ada dua,” katanya perlahan. “Iyya, anak ibu dua ditambah satu,” jawabku sambil memeluk ke dua anak itu.
Di usia Raras yang masih belia (6 tahun), rasa cemburu pada adik sangat mungkin terjadi bahkan saat sang adik masih berada dalam kandungan. Namun, saya tidak melihat kecemburuan itu pada diri Raras. Dia suka mencium dan membelai, bahkan membacakan buku cerita pada adiknya. Raras sangat ingin punya adik. Sejak dek Ima meninggal dan saya hamil lagi, sepertinya Raras tidak sabar ingin punya adik. Dia selalu bilang akan mengajak adiknya main boneka dan main bola kalau sudah lahir nanti.
Sore harinya Raras menolak menemani Dek Nino ketika saya akan wudlu dan sholat Ashar. Dia malah menghentakan kaki dan bicara dengan setengah berteriak, “Aku tidak mau diganggu! Ibu sudah mengacaukan permainanku! Aku tidak punya teman di rumah ini!”
Aku tertegun, dan teringat kembali dengan kata-katanya saat mandi pagi. Kubiarkan emosinya keluar terlebih dahulu. Setelah itu, Raras menuju kamarnya, berbaring di tempat tidur dan memeluk guling sambil menghadap tembok.
Setelah Raras kelihatannya agak tenang, saya masuk ke kamarnya, ikut berbaring di tempat tidur sambil memeluk punggungnya. Setelah beberapa menit memeluknya, saya angkat bicara setengah berbisik di telinganya, “Kakak sayang, makasih ya sudah bantu ibu, menjadi anak yang mandiri, makan sendiri, gosok gigi sendiri, bikin susu sendiri, senang belajar, waaahhh hebat deh anak ibu... Makasih ya sayang,” kataku sambil mengecup rambutnya. Raras masih diam dengan mata terpejam, pura-pura tidur.
Kembali saya berbisik, “Kakak Raras, boleh ibu minta maaf? Mungkin ibu pernah salah, menyuruh saat Kakak sedang sibuk main.” Raras masih diam. “ibu dimaafkan, tidak?” tanyaku mengharapkan jawaban.
“Iyya...” jawabnya pelan sambil menganggukkan kepalanya. Kemudian Raras membalikkan badannya, memelukku erat, “ibu, aku sayang ibu...” kemudian diam lagi, “aku juga sayang Bapak dan dek Nino.”
Aku terharu. Dalam hatiku berkecamuk berbagai rasa, namun sesuatu yang terasa berat di dada berangsur hilang. Sudah lama tidak memeluk Raras seperti ini, mungkin sejak melahirkan si Kecil. Pantas saja dia cemburu. Maafkan ibu, Nak....
Sehari setelah dek Nino lahir



0 komentar: