Sebulan setelah dek Ima
meninggal, saya ajak Raras mengunjungi makamnya. Raras tertegun, mungkin masih
belum mengerti. Sepertinya masih terlalu dini memperkenalkan Raras dengan
hal-hal eskatologis. Tetapi ini bisa menjadi pintu masuknya, perlahan-lahan Raras
harus belajar memahami apa yang sebenarnya terjadi dengan adiknya.
Pada awalnya saya selalu
mengalihkan pembicaraan jika Raras bertanya tentang dek Ima. Kemana dek Ima?
Meninggal itu apa? Makam itu dimana? Aku pengen ketemu dek Ima, aku pengen main
sama adikku. Ibu kan hamil terus melahirkan, sekarang bayinya mana? dan
seterusnya.
“ini makam dek Ima. Coba Raras
baca tulisan di batu itu,” pintaku pada Raras yang masih berdiri.
“Ra...hi...ma... Rahima!” Raras
diam. Sepertinya dia sedang memikirkan sesuatu, “Terus, dek Imanya dimana?”
“Dek Ima ada di surga,” jawabku
sambil menunjuk ke atas.
Raras mendongak ke atas, “di
surga...” katanya pelan.
“Yuk, kita do’ain dek Ima.”
Kemudian kami membaca surat Al-Fatihah bersama-sama.
Sejak itu, Raras sering semakin
sering bertanya atau berkomentar:
“Kenapa dek Ima di makam? Kasian dek
Ima sendirian disana, di dalam tanah kan ada ular, cacing, cucurut, binatang-binatang,
serangga, ibuuuu....kasian dek Ima...”
Hatiku serasa diaduk-aduk
mendengar pertanyaan dan melihat wajah sedih Raras yang berusaha memahami sesuatu yang sangat abstrak. “Raras, dek Ima itu
sakit, terus meninggal, kalo orang meninggal harus dimakamkan. Jasadnya di
dalam tanah, tapi jiwanya berada di surga.”
“Ibu, aku mau ke surga, aku mau
ketemu dek Ima!”
Saya cuma bisa menelan ludah yang
terasa sakit ditenggorokan, ah...kamu
belum mengerti, Nak.
Semakin sering dia bertanya, maka
semakin sering saya ajak ke makam. Setiap kali Raras bertanya, jawabanku pun
selalu sama supaya Raras tidak semakin bingung.
Suatu hari, Raras memperlihatkan
sebuah gambar, “Bu, ini gambar makam dek Ima, dan ini peri yang menjaga makam
dek Ima, menemani dek Ima.”
Hatiku terharu melihat anakku
yang sangat sayang sama adiknya.
|
Gambar peri yang menjaga makam dek Ima |
***
Enam bulan setelah melahirkan dek
Ima, saya dinyatakan positif hamil lagi. Tentu saja itu kabar gembira buat
Raras.
“Horeee....aku akan punya adik
lagi...!” teriaknya girang sambil memegang perutku. “Ibu, adikku yang ini tidak
sakit, kan? Tidak meninggal, kan?”
“InsyaAlloh sehat. Yuk, kita
do’ain adek bayinya sehat, jadi anak yang sholeh, cerdas, lucu, dan bahagia di
dunia, juga selamat di akhirat.”
***
Pada kesempatan lain, Raras menghampiri
dengan muka sedih, “ibu, aku tidak mau tumbuh dewasa.”
“Lho, kenapa?” tanyaku heran.
“Kalau aku dewasa nanti ibu
menjadi tua, kalau ibu tua nanti meninggal seperti dek Ima. Aku tidak mau ibu
meninggal...!”
Ealaaahhh...Nak...nak....
celotehmu membuat hati ibu tersenyum sekaligus terisak.
***